“korbannya kalau pakaiannya tertutup mungkin pelaku gak akan sejauh itu”
“korbannya kenapa baru ngomong sekarang? dulu waktu dilecehin kok diem ya?”
“emang iya dia pelakunya? orang ibadahnya taat kok, terus selama ini sopan, ramah. awas fitnah lho..”
Narasi seperti kita lihat seolah-olah membangun persepsi korban yang semestinya seperti apa, korban mana yang bisa dipercaya, dan siapa yang bisa menjadi korban. Sayangnya, pola pikir seperti ini hanya melanggengkan penghakiman kepada korban/penyintas kekerasan seksual serta menormalisasi mitos “the perfect victim”