Hentikan kekerasan seksual, pulihkan korban, dukung penghukuman yang bermartabat
Di Indonesia setiap dua jam, terdapat tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, dalam 5 tahun terakhir kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan tertinggi yang terjadi di ranah publik/komunitas, dan dalam 3 tahun terakhir menempati urutan kedua tertinggi dari kekerasan yang terjadi di ranah privat/domestik. Kekerasan seksual yang dilaporkan juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2016 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan berjumlah 5765 kasus, dimana pelaku merupakan orang-orang terdekat dengan korban, baik keluarga maupun orang-orang di sekitar lingkungan korban (Komnas Perempuan, 2017). Di Surabaya, khususnya, urgensi adanya payung hukum yang melindungi perempuan dan anak korban sangat dirasakan. Dari 93 kasus yang ditangani Savy Amira (2016 hingga Juni 2017), 50.5% nya adalah kasus kekerasan seksual baik yang terjadi dalam relasi personal (rumah tangga, relasi pacaran) dan di tempat kerja. Catatan di tahun 2016, Hotline Surabaya telah menangani 52 kasus eksploitasi seksual terhadap anak, maupun 2 kasus kehamilan yang tidak diinginkan; Embun yang sejak 2014 – 2016 menangani 29 anak yang mengalami kehamilan hingga melahirkan, 89 perempuan dan anak korban KDRT maupun kekerasan di masa pacaran yang sarat dengan kekerasan seksual di dalamnya
Hingga saat ini hak-hak korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi, terutama hak atas keadilan dan pemulihan. Terbatasnya tindakan kejahatan seksual yang dikenali oleh KUHP dan sistem pembuktian yang tidak berperspektif korban, menyebabkan sebagian besar pelaku kejahatan seksual bebas dari jeratan hukum. Selain itu belum adanya regulasi yang secara khusus menjamin dilaksanakannya pemulihan bagi korban kekerasan seksual, menyebabkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual hanya berfokus pada penghukuman pelaku dan mengabaikan aspek pemulihan korban. Padahal, dampak dari tindakan kekerasan seksual tidak saja terhadap fisik, psikis dan organ/fungsi seksual korban, tapi juga terhadap keberlangsungan kehidupan korban dan keluarganya (Komnas Perempuan, 2017).
Merupakan hal yang menggembirakan ketika di bulan Juni 2017, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sejak 2013 didorong oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, berdasarkan pengalaman penanganan kasus maupun advokasi pada pihak-pihak terkait, telah diadopsi menjadi inisiatif DPR RI. Sekalipun demikian, proses RUU menjadi UU Penghapusan Kekerasan Seksual masihlah panjang. Masih terus dibutuhkan keterlibatan masyarakat sipil, jaringan lembaga-lembaga penyedia layanan untuk terus bekerjasama dengan Pemerintah, Legislatif, dan Aparat Penegak Hukum untuk menjaga marwah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang didasari pengakuan akan adanya ketimpangan relasi sebagai dasar dari terjadi dan bertahannya kekerasan seksual dan penghukuman yang bermartabat dalam mencegah keberulangan terjadinya kekerasan seksual.
Oleh karena itu, Dengan terjaganya prinsip-prinsip tersebut diharapkan Pemerintah bersama dengan DPR dapat mewujudkan
• UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan sehingga mendapatkan proses peradilan yang berkeadilan
• UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban serta penindakan pelaku;
• UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang memberikan kepastian hukum terhadap 9 bentuk kekerasan seksual, yakni: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.
• UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mencakup juga pemidanaan khusus bagi pelaku korporasi, pelaku yang menghambat, bertindak lalai menjalankan kewajiban, serta sanksi administratifnya
• UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual
• UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menegaskan pengaturan layanan pemerintah maupun layanan negara yang sinergetik dengan masyarakat dan LSM sebagai upaya pemulihan korban
Disusun oleh Savy Amira