Merawat Ingatan dan Solidaritas Melalui Diskusi Reflektif Mei 1998 Sebagai Komitmen Melawan Segala Bentuk Kekerasan dan Diskriminasi

Penulis: Kayika (Riset & Advokasi Media Savy Amira WCC)

Diskusi Reflektif Mei 1998 menghadirkan empat pembicara terkemuka yang saling berdialog seputar pengambilan sikap terhadap sejarah kerusuhan Mei 1998 yang berhubungan dengan intimidasi, diskriminasi ras, kekerasan terhadap perempuan, dan operasi militer yang mulai memasuki ruang-ruang sipil. Keempat pembicara terdiri dari Sondang Frishka Simanjuntak (Ketua Komnas Perempuan Periode 2025-2030), Evi Lina Sutrisno (Dosen FISIPOL UGM dan Peneliti Kerusuhan Mei 1998 di Surabaya), Ita Fatia Nadia (Anggota Board Amnesty International Indonesia dan Pendamping Korban Tragedi Mei 1998), dan Amira Paripurna (Dosen FH UNAIR). Diskusi Reflektif Mei 1998 kolaborasi KSGK UBAYA, Savy Amira WCC, dan Wiloka Society Peer Group Fakultas Psikologi UBAYA sangat penting sebagai perawatan memori kolektif perjuangan melawan ketidakadilan dan segala bentuk kekerasan yang dialami perempuan serta kelompok minoritas (rentan; termarjinalkan). 

Diskusi ini juga sebagai simbol pentingnya ruang aman yang mampu menghidupkan gerakan-gerakan warga sipil yang peduli terhadap sejarah dengan semangat melawan kekeliruan narasi sekaligus upaya menjembatani kesenjangan (gap) pengetahuan mengenai  sejarah Mei 1998. Akibat kurangnya keterbukaan dokumentasi sejarah Indonesia yang berperspektif korban dan tidak banyak dibicarakan dalam buku-buku sekolah, sejarah Mei 1998 butuh disebarluaskan secara transparan , terutama kepada orang muda yang akan meneruskan estafet perjuangan kolektif bangsa dengan semangat melawan segala bentuk kekerasan demi terjaganya persatuan dan demokrasi. 

Diskusi Reflektif Mei 1998 diawali dengan pemutaran film dokumenter berjudul HOTLINE  1998 yang menceritakan pengalaman para sukarelawan kemanusiaan yang tergabung di tim layanan bantuan (hotline) yang saat itu diadakan untuk merespon situasi darurat perkosaan massal sebagai bentuk kekerasan seksual ekstrim yang saat itu terjadi. Selain menceritakan tantangan pendampingan kepada korban perkosaan massal yang kebanyakan dialami oleh penyintas perempuan Tionghoa, HOTLINE 1998 juga menekankan perkosaan massal sebagai kekerasan seksual nyata terjadi sehingga para keluarga penyintas mendesak pemerintah bertanggung jawab atas kejadian ini dan tidak menyangkal bukti-bukti yang diajukan keluarga penyintas bersama kelompok pembela hak asasi manusia. 

Sesi panel diskusi diawali pemaparan peran Komnas Perempuan dalam advokasi kasus dan pemenuhan hak pemulihan korban Mei 98. Sondang Frishka Simanjuntak menyampaikan Komnas Perempuan dibentuk dari desakan gerakan sipil untuk mendampingi hak-hak perempuan korban pasca kerusuhan Mei 1998. Upaya pemenuhan hak-hak korban terdiri dari hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas ketidakberulangan kekerasan. Komnas Perempuan secara konsisten menyampaikan tuntutan pemenuhan hak korban Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat melalui mekanisme HAM internasional, mendesak pemerintah menindaklanjuti temuan bukti Komnas HAM, melakukan reformasi hukum dan kebijakan untuk mengusut tuntas pelaku pelanggaran HAM berat, menyusun strategi konsep perlindungan saksi dan korban. Komnas Perempuan juga rutin berdialog dan melakukan aksi solidaritas bersama keluarga penyintas Mei 1998 di berbagai aksi kemanusiaan, seperti Kampanye Mari Bicara Kebenaran, Memorialisasi Mei 98, Napak Tilas Reformasi, Upaya Replikasi di berbagai daerah.

Evi Lina Sutrisno, atau akrab disapa Siska, memaparkan sejarah kekerasan dan diskriminasi rasial terhadap kelompok Tionghoa di Indonesia. Di sesi panel diskusi, Siska menyampaikan jejak kekerasan berbasis sentimen anti Tionghoa tidak muncul secara spontan di Mei 1998, melainkan sejak masa penjajahan VOC di Batavia (sekarang Jakarta) sejak 1740 melalui politik pemisahan ras. Di masa Orde Baru, stigma negatif terhadap Tionghoa muncul sebagai kelompok eksklusif yang tidak bisa membaur dengan tekanan politik dan sosio-kultural yang saat itu membatasi lapangan pekerjaan warga Tionghoa ke berbagai ruang publik, sehingga banyak di antara mereka yang memilih survive sebagai pebisnis, termasuk menjual sembako di toko kelontong. Kebijakan di Orde Baru juga memaksa Tionghoa menghapus identitas dan ekspresi budayanya, termasuk pembedaan administrasi dengan wajib mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang akhirnya dihapus di 1996. Saat kerusuhan Mei 1998 meledak di berbagai kota besar, termasuk Surabaya pada tanggal 15-16 Mei, diskriminasi yang dialami warga Tionghoa menyasar Kota Lama dan tengah kota di area Semampir, Wonokromo, Simokerto, dan sekitar Tunjungan. Terdapat laporan korban kekerasaan diterima oleh rohaniawan Konghucu, Bingky Irawan yang menerima pengakuan korban perkosaan di 1 Juli 1998. Korban perkosaan yang teridentifikasi di Surabaya sebanyak 15, tetapi dugaannya mungkin lebih banyak karena rumitnya hidup dengan trauma sebagai korban kekerasan dan risiko penghilangan paksa. 

Paparan Ita Fatia Nadia sebagai sejarawan menjelaskan hubungan militerisme dan pola-pola kekerasan terhadap perempuan, termasuk penolakan proyek penulisan ulang sejarah yang dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan sebagai ‘sejarah resmi’. Ita menyampaikan agenda penulisan ‘sejarah resmi’ justru menghilangkan kebenaran sesungguhnya yang dialami oleh korban pelanggaran HAM berat. Melalui protes yang diinisiasi Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), revisi sejarah yang tidak melibatkan dialog publik juga bentuk ketiadaan respon terhadap tanggung jawab atas kekerasan yang dilakukan negara di masa lalu, termasuk perkosaan massal Mei 1998 yang masih disangkal saat ini. Ita menyampaikan apabila sekarang kita perlu waspada terhadap bentuk fasisme dan militerisme, karena perempuan selalu rentan menjadi sasaran kekerasan oleh negara. Hubungannya patriarki dengan militerisme, yaitu menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dominan, melanggengkan nilai maskulinitas yang memperparah hierarki gender. Militerisme dan patriarki menghasilkan oligarki, apalagi posisinya didominasi oleh laki-laki kelompok elit yang sering menghasilkan kebijakan penuh kontroversi. Menyikapi fakta kekerasan terhadap perempuan di Mei 1998, dijelaskan jika penggunaan tubuh perempuan dalam operasi militer adalah strategi yang multidimensional dalam perang untuk menunjukkan dominasi kekuasaan. Bagi Ita, korban yang tewas saat menjadi saksi perkosaan massal Mei 1998, Fransiska (11 tahun) dan Ita Martadinata (18 tahun) 27 tahun lalu adalah gambaran nyata bahwa siapa pun berusaha menyampaikan kebenaran bisa saja dibunuh sewaktu-waktu, dilenyapkan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Amira Paripurna sebagai dosen hukum menjelaskan Revisi UU TNI sebagai potensi-potensi pelanggaran terhadap hak masyarakat sipil. Revisi UU TNI mengkhawatirkan karena aparat militer bisa bergerak melakukan operasi militer selain perang (OMSP) tanpa pengawasan demokratis, yang bisa sewaktu-waktu masuk ke wilayah sipil tanpa filter konstitusional. Hal tersebut berisiko menghilangkan fungsi check and balance. Operasi militer selain perang (OMSP) juga bisa membahayakan demokrasi digital warga sipil, khususnya konten berbasis jurnalisme warga dan kampanye kritis yang menyuarakan hak-hak kelompok minoritas (rentan; marjinal). Akibat Revisi UU TNI, kelompok pembela HAM rentan dicap sebagai “ancaman ideologi”, “antek asing”, “radikal”. Menurut Amira, keterlibatan militer tanpa mekanisme kontrol sipil bisa memicu intimidasi, penyalahgunaan wewenang, pembungkaman wacana kritis, dan berisiko intimidasi fisik terhadap kelompok sipil. 

Sesi panel diskusi ditutup dengan kesimpulan dan penyampaian rekomendasi strategis sebagai komitmen perawatan memori kolektif terhadap sejarah di masa lalu yang penuh kekerasan, supaya tidak terulang kembali di masa depan. Para pembicara juga menyampaikan closing statement pentingnya memperkuat siklus gerakan sipil, terutama gerakan mahasiswa dengan semangat melawan kekeliruan konteks narasi sejarah dengan perspektif yang inklusif dan interseksional. Kesadaran pendidikan politik antar sebaya bisa mulai diupayakan, semangat toleransi menghidupkan ruang perjumpaan antar etnis bisa dilestarikan.

Silakan akses materi lengkap Diskusi Reflektif Mei 1998 melalui bit.ly/materi24mei2025. Kami meminta para pembaca juga untuk memberikan saran terkait memorabilia sejarah Mei 1998 melalui bit.ly/memorabiliamei98.