RUU PKS – Akomodasi Hal yang Belum Diatur KUHP

JAKARTA, KOMPAS – Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan berharap pemerintah tetap mengakomodasi elemen-elemen penting kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal itu misalnya sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang diusulkan dalam RUU tersebut karena selama ini perbuatan kekerasan seksual itu tidak diatur daalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ataupun perundang-undangan lainnya.

Sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang masuk dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Namun, dalam daftar inventarisasi masalah (DIM), pemerintah hanya mencantumkan empat dari sembilan jenis kekerasan tersebut. Itu pun pemerintah mengusulkan mengganti nama jenis tindak pidananya, yakni pencabulan persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, eksploitasi seksual, dan penyiksaan seksual. Adapun lima jenis tindak pidana lainnya, yakni pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual, tidak dicantumkan di DIM.

“Kami meminta lima tidan pidana tersebut tatap diakomodasi karena hal-hal tersebut bebnar-benar terjadi. Itu ada temuan-temuan kasusnya, tapi tidak bisa dilaporkan kepada polisi karena tidak ada aturan yang bisa dipakai polisi untuk memeriksa kasus itu,” kata Ketua Komisi nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana Manalu, Senin (30/10) di Jakarta.

Hal itu misalnya pelecehan seksual. Tindak pidana itu diajukan dalam RUU PKS karena pelecehan seksual tidak hanya persetubuhan dengan kekerasan, tetapi di kehidupan masyarakan ada pelecehan seksual tidak dalam kontak fisik, meliputi kata ataupun peerbuatan yang tidak menyentuh korban.

Begitu juga dengan pemaksaan aborsi, Komnas Perempuan berharap hal itu tetap diakomodasi karena KUHP hanya mengatur ancaman hukuman bagi pelaku aborsi dan perempuan yang diaborsi. Sementara laki-laki yang menghamili atau yang menyuruh aborsi tidak pernah dijerat KUHP.

“Sekarang kami meminta hal itu dimuat dalam RUU PKS agar bisa menjerat laki-laki yang menyebabkan perempuan hamil dan menyuruh aborsi,” katanya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengatakan, proses RUU PKS masih panjang. Beberapa waktu lalu, dia membacakan tanggapan pemerintah di DPR. Namun karena RUU tersebut inisiatif DPR, akan dibentuk tim khusus untuk membahas pengurangan-pengurangan pasal di RUU PKS.

Soal ruang diskusi dengan organisasi masyarakat sipil, menurut Yohana, pemerintah akan mendengan dulu tanggapan DPR setelah itu bisa membuka kesempatan kepada publik. (SON)