PEREMPUAN DAN HIV/AIDS

HIV/AIDS di Indonesia

Tahun 1987, adalah tahun pertama Indonesia kita tercinta menemukan kasus orang terinfeksi HIV/AIDS.  Pada saat itu belum banyak orang yang memahami apa itu HIV-AIDS, tetapi lambat laun bermunculan orang-orang yang mendedikasikan dirinya secara serius dalam dunia HIV/AIDS ini sehingga HIV/AIDS mencapai pemahaman seperti apa yang kita ketahui sekarang ini.

Pada awal pemunculannya, HIV/AIDS identik dengan kematian. Namun dengan berkembangnya berbagai penelitian dan penemuan-penemuan baru di dunia farmasi, maka sekarang HIV/AIDS sudah termasuk dalam gangguan kesehatan yang dapat dikendalikan.

Masyarakat Indonesia secara umum belum terlalu memahami apa itu HIV/AIDS dan masih banyak sekali anggota masyarakat yang mengaitkan HIV/AIDS dengan perilaku moral, sehingga ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) belum sepenuhnya diterima di tengah masyarakat kita.  Persepsi-persepsi yang kurang tepat masih banyak mendominasi pemikiran anggota masyarakat awam dimana-mana.

Apapun persepsi masyarakat tentang HIV/AIDS maupun ODHA, penularan HIV/AIDS terus berlangsung di Indonesia, data mutakhir yang tercatat di Ditjen PP&PL Kemenkes RI menunjukkan bahwa antara April sampai dengan Juni 2011, tercatat 2352 ODHA baru, yang berarti secara kumulatif jumlah ODHA yang tercatat di Indonesia sejak April 1987 sampai dengan Juni 2011 adalah 26483.  Sekitar 30% diantaranya perempuan.  Menurut faktor risikonya, kebanyakan ODHA tertular (lebih dari 50%) melalui hubungan heteroseksual.  Dari pengalaman konseling dengan ODHA perempuan saya menemukan bahwa beberapa perempuan mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV/AIDS setelah melahirkan bayi yang HIV positif.  Padahal dia waktu menikah masih perawan dan satu-satunya pasangan seksualnya adalah suaminya.

Data yang cukup menggelisahkan muncul dari kategori umur ODHA mulai terinfeksi HIV, hampir 50% tertular pada usia 20-29 tahun.  Usia produktif dan usia yang menurut data statistik terakhir di luar usia pernikahan (menurut data statistik usia pernikahan perempuan di negara kita sekarang adalah 32 tahun).  Jadi dapat kita bayangkan, di luar sana banyak anak muda perempuan dan laki-laki yang belum terikat pernikahan sudah menjadi ODHA.

Risiko perempuan tertular HIV

Seperti yang sudah diangkat dari data yang ada, kemungkinan terbesar penularan HIV pada perempuan berasal dari hubungan heteroseksual.  Hubungan heteroseksual tidak berarti hubungan di dalam pernikahan, tetapi bisa juga hubungan pranikah.  Data dari penelitian Pilar PKBI dalam baseline survey  perilaku seksual mahasiswa di Jawa Tengah pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 20.4% responden telah melakukan intercourse dengan pacar di rumah atau dengan pekerja seks untuk memenuhi kebutuhan biologis (53,8%) dan sebagai ungkapan tanda cinta (42,3%).  Tidak tertutup juga perempuan tertular HIV/AIDS setelah menjadi korban perkosaan.  Data tentang ini belum ada, tetapi dari pengalaman konseling, saya pernah menemukan seorang ODHA yang mendapat status barunya itu setelah diperkosa sejumlah pemuda.

Saat ini salah satu kontributor terbesar untuk penularan HIV/AIDS adalah pemakai narkoba suntik, sekitar 30% dari ODHA tertular melalui pemakaian narkoba suntik.  ODHA perempuan bisa jadi seorang pemakai narkoba suntik yang berbagi jarum dengan pasangan atau teman-temannya.  Bisa juga ia seorang perempuan yang tidak memakai narkoba suntik, tetapi melakukan hubungan seks dengan pasangannya, yang seorang pemakai narkoba suntik.  Tidak tertutup kemungkinan, adanya seorang perempuan yang memakai narkoba suntik dengan cara berbagi jarum dengan pasangan/teman-teman dan melakukan hubungan seksual baik dengan pasangan maupun dengan teman-teman sesama pemakai narkoba suntik.

Tidak bisa dilupakan adanya kemungkinan penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah.  Saya pernah menemukan kasus, seorang remaja putri yang tidak pernah menjadi pemakai narkoba suntik, belum pernah berpacaran, tetapi menunjukkan gejala-gejala AIDS.  Setelah dites ternyata positif dan waktu ditelusuri perjalanan hidupnya, sekitar 10 tahun yang lalu dia pernah mendapat 3 kantong darah karena operasi usus buntu.

Penularan yang paling mengenaskan adalah penularan perinatal dari ibu yang sudah terinfeksi.  Dalam banyak kasus, ibu baru mengetahui bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV/AIDS setelah melahirkan seorang anak yang tidak bisa gemuk, diare terus menerus, batuk tidak berhenti dan luka-luka sariawan di mulutnya.

Secara umum, perempuan memang rentan untuk teinfeksi HIV, beberapa faktor yang menyebabkannya, antara lain adanya kesenjangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki.  Kesenjangan ini sering menyebabkan perempuan terlibat dalam perilaku seks yang tidak aman.  Banyak laki-laki yang menekan bahkan memaksa perempuan (baik istri, pacar maupun pekerja seks) untuk melakukan seks yang tidak aman,  yaitu melakukan hubungan seks tanpa kondom.  Karena sampai sekarang pada umumnya HIV ditularkan dari laki-laki ke perempuan, maka perempuan berada dalam posisi berisiko untuk tertular.  Dalam banyak kesempatan, walaupun tidak ada paksaan, banyak perempuan yang enggan untuk menyarankan perilaku seks yang aman pada pasangannya, karena takut disakiti atau ditinggalkan oleh pasangannya.  Dalam sebuah studi di Amerika tampak bahwa perempuan Afrika-Amerika yang tergantung secara ekonomi pada pasangannya tidak pernah menawarkan kondom saat akan melakukan hubungan seksual.

Pemakain narkoba suntik, seperti telah dipaparkan di atas tadi, saat ini merupakan salah satu kontributor yang signifikan untuk menambah jumlah ODHA baru.  Negara kita sudah bukan lagi konsumen narkoba, tetapi juga produsennya.  Pertambahan jumlah pecandu narkoba suntik di tanah air tidak dapat diabaikan, penularan yang signifikan semakin lama semakin jelas dari perilaku pemakaian narkoba suntik ini.  Program-program rehabilitative untuk pemakai narkoba suntik belum terlalu banyak dan tingkat keterjangkauannyapun rendah sekali.  Dalam banyak kasus terjadi risiko dobel pada pekerja seks yang juga memakai narkoba suntik.

Riset-riset yang berkaitan dengan perlindungan perempuan terhadap HIV/AIDS belum banyak dilakukan.  Misalnya seorang perempuan yang ingin hamil  secara normal maupun melalui program bayi tabung tidak dapat dilindungi dari kemungkinan tertular HIV dari pasangan atau donor spermanya.  Seharusnya melalui penelitian-penelitian yang intensif dapat ditemukan bahan-bahan tertentu yang dapat membunuh kuman-kuman HIV di rahim perempuan tanpa menutup kemungkinan perempuan untuk hamil.

Perempuan lebih sering dipandang sebagai orang yang menjadi sumber infeksi HIV bagi seorang laki-laki atau anak-anak, bahkan dalam banyak kasus perempuan disalahkan.  Hal ini menyebabkan kesulitan bagi seorang perempuan untuk mengakses layanan perawatan HIV bila ia tidak menginfeksi anak atau suaminya.  Padahal belakangan ini banyak kasus yang memberikan bukti sebaliknya, perempuan justru terinfeksi karena suaminya.

Layanan kesehatan di sekitar kita sekarang ini belum sensitif terhadap kebutuhan perempuan, sehingga dalam banyak kasus perempuan baru mencari pertolongan setelah mencapai tahap AIDS.  Banyak perempuan yang tidak mendapat perawatan untuk penyakit menular seksual yang merupakan pintu dari masuknya virus HIV.

Perempuan terbiasa untuk lebih memikirkan dan mendahulukan kesejahteraan orang lain daripada dirinya sendiri.  Kewajiban perempuan untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan keluarganya dulu seringkali menyebabkan ia mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri.  Pada umumnya perempuan adalah perawat utama di dalam keluarga, termasuk untuk anggota keluarga yang AIDS.  Seringkali dalam menjalankan peranannya itu perempuan tidak mendapat dukungan, sehingga kepentingannya untuk merawat diri sendiri masuk dalam prioritas terakhir.

Penghasilan perempuan pada umumnya lebih kecil dari laki-laki, dan tidak jarang sebagai seorang single parent, seorang perempuan harus menanggung kebutuhan finansial seluruh anggota keluarganya, sehingga ia tidak punya cukup uang untuk merawat dirinya sendiri.

Banyak perempuan sulit mengakses terapi ARV (antiretroviral/obat bagi orang yang terinfeksi HIV/AIDS) karena keterbatasan dana yang dia miliki.  Walaupun pada saat ini pemerintah sudah memberikan subsidi cukup besar untuk perawatan ODHA, di luar perawatan yang tersedia, seorang perempuan yang ingin menjangkau layanan itu perlu memiliki sedikit modal untuk transportasi, membayar orang yang menunggui anaknya, menyiapkan konsumsi di rumah pada saat ia harus ke rumah sakit dan berbagai urusan domestik yang menjadi tanggung jawabnya.

PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission)

PMTCT adalah program perawatan HIV/AIDS yang diciptakan untuk ibu dan anak.  Program layanan ini tercipta karena kasus-kasus gangguan kesehatan anak akibat terinfeksi HIV dari ibu yang positif semakin nyata dan signifikan.  Penerapan program ini diharapkan dapat mencegah penularan dari ibu ke anak.  Sehingga jumlah anak-anak tidak berdosa yang terinfeksi HIV semakin berkurang atau tidak ada lagi.  Pada dasarnya pencegahan melalui program PMTCT ini bukan hanya membantu anak agar tidak terinfeksi HIV tetapi juga membantu ibunya yang telah terinfeksi HIV untuk tetap sehat.

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh data estimasi risiko dan waktu penularan dari ibu kepada anak, HIV dapat menular pada saat perinatal, waktu bayi masih di dalam kandungan (kemungkinan 17% dari populasi), pada saat melahirkan (8%) dan pada saat menyusui (10%).  Secara umum, seluruhnya tanpa ASI kemungkinan penularannya adalah 20-25%, kalau diberikan ASI selama 6 bulan adalah 25-30% dan kalau diberikan ASI sampai 18-24 bulan 30-35%.

Dari data tersebut di atas, pemerintah Indonesia mengadopsi program PMTCT ini dari UNAIDS/WHO.  Mengikuti strategi 4 prong yang telah ditetapkan:

Prong 1: untuk perempuan usia subur, mencegah perempuan yang masih negatif untuk tidak terinfeksi HIV

Prong 2: untuk perempuan yang telah terinfeksi HIV, mencegah kehamilan tanpa rencana

Prong 3: untuk perempuan yang telah terinfeksi HIV yang sudah hamil, mencegah penularan HIV dari ibu ke anak

Prong 4:  untuk perempuan HIV yang telah menginfeksi anak dan keluarganya, disediakan layanan terapi dan dukungan untuk menjaga kesehatan mereka

Dalam praktiknya, program PMTCT ini tentunya menjangkau para perempuan yang telah menikah dan mengikuti program kesehatan ibu anak di layanan kesehatan baik pada tingkat puskesmas maupun rumah sakit propinsi.  Perempuan-perempuan lajang, dalam usia produktif, yang telah aktif secara seksual tidak memiliki akses untuk menjangkau layanan ini. Walaupun sesungguhnya prong 1 seharusnya menjangkau mereka juga.

Perhatian terhadap besarnya potensi penularan HIV terhadap para perempuan lajang dalam usia produktif masih sangat kurang, padahal saat ini partisipasi perempuan dalam pembangunan tidak dapat diragukan lagi.  Di tengah-tengah tuntutan terhadap perempuan yang masih tidak seimbang dengan tuntutan terhadap laki-laki dan beban ganda yang masih menjadi bagian dari keseharian hidup seorang perempuan, perhatian terhadap kesehatan para perempuan masih harus kita perjuangkan.

Tantangan kita semua

Berkaitan dengan penularan HIV, perhatian terhadap keberagaman perempuan saat ini perlu ditingkatkan.  HIV adalah virus perilaku, penularannya tidak begitu mudah seperti halnya virus influenza.  Salah satu cara penularan yang paling signifikan adalah penularan melalui hubungan heteroseksual.  Pemahaman terhadap hubungan ini perlu diperluas, mengingat situasi dan kondisi saat ini menunjukkan bahwa hubungan seksual heteroseksual sudah dilakukan oleh para perempuan lajang di luar hubungan pernikahan.

Promosi kesehatan sudah perlu didisain untuk para perempuan mandiri yang langkahnya semakin panjang.  Kesehatan perempuan mencakup kemampuannya untuk memahami gaya hidup sehat yang selaras dengan irama hidupnya.  Kesehatan mental perempuan mencakup kesehatan fisik dan rasa mampu menjaga dirinya sendiri dari ancaman kesehatan yang serius.   Para perempuan perlu diberi akses yang seluas-luasnya untuk memahami berbagai ancaman kesehatan tersembunyi yang potensial untuk mengganggu eksistensinya sebagai perempuan yang berdaya dan produktif.

Kebiasaan untuk menjalankan gaya hidup sehat dan memeriksakan kondisi kesehatan termasuk kesehatan mental perlu dipromosikan kepada semua perempuan di sekitar kita.  Bahkan hidup dalam mahligai perkawinan yang sempurna, tidak menjamin seorang perempuan akan sehat lahir batin seumur hidupnya.  Hanya kemampuan untuk menyiasati berbagai tantangan hiduplah yang bisa menjaga kesehatan mental seorang perempuan.

Berkaitan dengan penularan HIV/AIDS, standar ganda, peran ganda, beban ganda dan berbagai bias dalam persepsi terhadap perempuan perlu kita perangi.  Setiap perempuan harus memiliki akses untuk informasi tentang penularan HIV/AIDS, diapun harus bisa melindungi diri sendiri, belajar berkomunikasi secara asertif, bernegosiasi dengan pasangan seksualnya untuk menjalankan seks aman. Pada akhirnya, semua perempuan harus belajar untuk mempercayai diri sendiri dan mempertahankan haknya agar tidak tertular HIV. (astrid/031211)