Kamu tidak sendirian
Anda setuju bahwa realitas di masyarakat kita sangat mudah menggunakan kekerasan tetapi menolak menerima/berempati pada mereka yang mengalami kekerasan dalam relasi interpersonal, terutama pada kasus kekerasan seksual pada mereka yang berusia remaja ke atas. Karena sikap ini, banyak orang malu untuk mengatakan bahwa ia mengalami atau berada dalam relasi yang diwarnai kekerasan – bahkan sahabatnya sekalipun. Pelaku seringkali ‘mengisolasi’ korban atau mengancam akan melukainya/mempermalukannya bila berani-berani membicarakan pengalamannya pada orang lain. Akibatnya, banyak korban yang meyakini bahwa hanya dirilah yang mengalami kekerasan, bahkan seringkali meyakini kualitas dirinyalah yang menyebabkan ia mengalami kekerasan. Akan jauh ‘melegakan’ bila ia mengetahui bahwa banyak orang juga mengalami hal yang serupa.
 Kekerasan yang terjadi bukanlah kesalahanmu
Setiap korban tentu familiar dengan kata-kata ini, “kamulah yang membuatku melakukan iniâ€, “kamu yang membuatku marahâ€, “kamu mesti belajar untuk nurutâ€. Sangat sering pelaku kekerasan menyalah-nyalahkan korban. Kesalahan yang dijatuhkan pada korban menjadi beban yang luar biasa dan menjadi penyebab utama buruknya konsep diri korban. Pelakulah yang seharusnya bertanggung jawab atas perilakunya. The abuse is not the fault of the victim.
 Kalau kamu merasa ada ketakutan, maka itulah yang dikatakan sebagai “kekerasanâ€
kalau kamu disentuh dengan cara tertentu yang membuatmu merasa takut dan/atau tidak nyaman dan/atau merasa buruk, maka itu berarti sedang terjadi kekerasan padamu.
 Carilah bantuan dan dukungan bagi dirimu
kebanyakan dari pelaku menolak untuk mencari bantuan karena mereka tidak menyadari betapa buruknya dampak perilakunya. Korban pun sering merasa malu atau takut untuk mencari bantuan, dan tidak terlalu menyadari seberapa buruk dampaknya baik dalam jangka pendek maupun panjang bagi dirinya. Anda punya hak untuk mengontak organisasi-organisasi yang menyediakan pelayanan untuk kasus serupa. Anda bisa mengontak kami atau pun pusat-pusat penanganan krisis lainnya maupun orang-orang yang bersimpati dan bersedia memberikan bantuan.
MITOS & FAKTA
 Mitos: Saya nggak mungkin mengalaminya.
Fakta: gambaran di belahan bumi yang lain 1 dari setiap 10 orang muda mengalami kekerasan fisik dalam masa berpacarannya
Mitos: Cemburu dan ‘rasa memiliki’ yang kuat adalah tanda-tanda dari cinta sejati.
Fakta: keduanya adalah tanda bahwa ia ‘hanya’ menganggapmu sebagai “barang miliknyaâ€. Inilah tanda umum terkuat dari akan terjadinya relasi yang diwarnai kekerasan.
 Mitos: kekerasan dalam pacaran di orang muda bukanlah persoalan yang serius.
Fakta: 30% perempuan yang terbunuh di AS, pelakunya adalah suami atau pacarnya. Begitupula hasil penelitian di Massachusetts (AS), prosentase yang serupa terjadi pada remaja putrid berusia antara 15 – 19 tahun. Begtu pula 60% dari seluruh kasus perkosaan yang dilakukan oleh pasangan, yang masuk ke pusat2 krisis kasus perkosaan. Mayoritas kasusnya adalah berusia antara 16 – 24 tahun.
 Mitos: Minuman beralkohol adalah penyebab laki-laki jadi pelaku kekerasan
Fakta: cukup banyak laki-laki pelaku kekerasan yang bukan peminum, dan banyak pula mereka yang alkoholik tidak melakukan kekerasan pada pasangannya. Lebih jauh lagi, para pelaku yang juga peminum ketika sudah berhenti minum tidak menghentikan kekerasan yang ia lakukan. Mereka yang ketika memukul pasangannya dan memang sedang mabuk menggunakan hal itu sebagai alasannya.
 Mitos: Korban sendiri yang menyebabkan ia mengalami kekerasan. Salah mereka sendiri.
Fakta: para pelaku yakin bahwa mereka punya hak sepenuhnya untuk mengerasi pasangan agar pasangannya patuh, dan mereka melihat korban sebagai orang yang ‘dibawahnya’. Sementara korban ‘tidak punya kendali’ atas pelaku
 Mitos: kalau sampai seseorang terus bertahan dalam relasi yang buruk, berarti relasi itu tidak terlalu buruklah.
Fakta: ada banyak alasan mengapa orang bertahan: rasa takut, ketergantungan ekonomi, bingung, kehilangan rasa percaya diri (terutama mereka yang sudah ‘terpaksa melakukan relasi seksual’), tidak menyadari bahwa apa yang ia alami adalah tergolong tindak kekerasan, dan menyakini bahwa pelaku adalah seseorang yang membutuhkan bantuannya atau untuk berubah.
 Mitos: para pelaku itu umumnya orang-orang miskin atau gila.
Fakta: Pelaku dapat ditemukan di semua kelas atau tipe: kaya, miskin, professional, penganggur, profesional, orang kota dan desa, yang dianggap tak beragama, pemuka/pemimpin agama (apapun).
 —– (tw/190112)—-