Menuju Masa Depan yang Berkeadilan: Menegakkan Ingatan, Menolak Kekerasan – RILIS PERS Savy Amira WCC dan KSGK UBAYA

Surabaya, 26 Mei 2025

Kami, Savy Amira WCC bersama Kelompok Studi Gender dan Kesehatan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya serta masyarakat sipil, menegaskan pentingnya mengakui kekerasan Mei 1998 sebagai jejak sejarah yang sah dan tak terbantahkan. Pengakuan ini bukan hanya penghormatan pada korban, tetapi juga fondasi bagi keberlanjutan ruang sipil yang adil dan demokratis, termasuk di lingkungan kampus.

Kami percaya bahwa riset akademik dan diskusi terbuka tentang peristiwa ini sangat penting untuk membongkar kekerasan lintas sektor melalui perspektif interseksional. Hal ini mendesak agar narasi sejarah tidak dikendalikan oleh kekuasaan, tetapi dibentuk oleh pengalaman korban dan masyarakat yang terdampak.

Kami menyerukan pembukaan ruang diskusi yang aman, inklusif, dan berpihak pada korban sebagai upaya merawat ingatan, memperkuat solidaritas, dan mencegah kekerasan serupa terulang. Narasi sejarah yang menyesatkan dan mengabaikan fakta kekerasan hanya memperkuat stigma, terutama terhadap perempuan dari kelompok etnis minoritas seperti Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual saat itu.

Kami mendesak negara untuk menindaklanjuti temuan Komnas Perempuan dan Komnas HAM, mengusut pelaku pelanggaran HAM berat, serta memulihkan hak-hak korban. Upaya penulisan ulang ‘sejarah resmi’ oleh pemerintah tanpa melibatkan publik dan korban merupakan bentuk penyangkalan sejarah dan kekerasan simbolik yang membahayakan demokrasi.

Kami menolak segala bentuk militerisme dan patriarki dalam narasi sejarah karena keduanya melanggengkan kekerasan negara dan menghapus pengalaman korban, terutama perempuan. Tanpa pengakuan yang jujur atas kekerasan seksual dan femisida yang terjadi dalam sejarah, kita berisiko mengulang siklus kekerasan serupa di masa depan.

Berdasarkan pernyataan di atas, kami memberikan beberapa rekomendasi strategis, yaitu:

• Menguatkan narasi sejarah korban dengan pendekatan interseksional untuk mencegah penghapusan sejarah dan reproduksi kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan di masa depan. Tindakan dilakukan dengan pemikiran dan kegiatan yang kritis. 

• Pengawasan kritis terhadap implementasi UU TNI dan masuknya militerisme, oleh koalisi masyarakat dan akademisi, termasuk pemantauan dampaknya terhadap kelompok rentan.

• Pemulihan dan pengakuan negara terhadap korban kekerasan berbasis gender, etnis, agama, dan ideologi politik, sebagai bagian dari menuju transitional justice dan masyarakat yang adil.

• Pengembangan sistem serta tata kelola kampus kritis dan berdampak, yang mengintegrasikan studi gender, sejarah kekerasan, dan HAM secara lintas disiplin, sehingga melahirkan kebebasan bersuara bagi seluruh sivitas akademika.

• Kolaborasi aktif antara universitas, gerakan masyarakat sipil, dan individu dalam aksi-aksi advokasi, edukasi publik, dan pemberdayaan komunitas penyintas.