Mempersiapkan Anak Menghadapi Perceraian

Meningkatnya angka perceraian adalah kenyataan sosial yang tak dapat dipungkiri di Indonesia akhir-akhir ini. Setiap tahunnya, ribuan pasangan mengakhiri perkawinan karena berbagai alasan, seperti kawin terlalu muda, hadirnya orang ketiga, percekcokan tak kunjung henti dan masalah ekonomi. Apa pun alasan pecahnya suatu perkawinan, ada masalah serius yang harus ditangani oleh pasangan, yaitu mempersiapkan anak menghadapi perceraian.

Pada banyak kasus perceraian, pasangan mengalami konflik intens dalam waktu cukup panjang yang sangat menguras energi. Akibatnya, sebagai orangtua, mereka kerap tidak memiliki cukup waktu dan tenaga untuk mendampingi anak-anak menjelang perceraian. Tulisan ini dibagi dalam empat bagian. Secara umum, keempat tulisan bertujuan mengulas berbagai strategi mendampingi anak apabila perceraian tak terelakkan. Bagian pertama, hadir minggu ini, bertajuk mempersiapkan anak sebelum perceraian terjadi. Bagian kedua membahas tentang dampak perceraian bagi anak. Bagian ketiga berupa tips mendampingi anak pada masa krisis setelah perceraian. Bagian keempat membahas tentang peran orangtua tunggal (single parent) dalam membesarkan anak.

Mengajak Anak Bicara

Ketika disadari perkawinan tak dapat diselamatkan, bagian tersulit untuk dilalui orangtua adalah membicarakan perceraian dengan anak-anak. Berapa pun usia anak, mereka sebaiknya diberitahu bahwa proses perceraian tengah terjadi. Bicarakan dengan sederhana, sesuai dengan tingkat umur anak, bahwa dalam waktu dekat akan terjadi perpisahan antara orangtua. Perlu ditekankan di sini bahwa pemberitahuan tentang perceraian sebaiknya dilaksanakan saat kedua orangtua telah sepakat bahwa perceraian tidak dapat dihindari lagi. Banyak pasangan yang ingin bercerai, namun mereka juga masih berjuang menyelamatkan perkawinan. Sebelum perceraian disepakati atau dipastikan, tunda dahulu penjelasan Anda karena anak dapat terombang-ambing dalam masa yang penuh ketidakpastian yang membuat mereka cemas berkepanjangan.

Dalam memberitahukan rencana perceraian, seberapa pun marahnya Anda, usahakan untuk tidak menjelek-jelekkan pasangan di hadapan anak karena hal itu dapat menekan anak untuk memilih kubu antara ayah atau ibu. Hal ini tidak sehat karena walaupun telah bercerai, anak tetap membutuhkan hubungan baik dengan kedua orangtuanya.

Anak harus diberitahu bahwa mereka bukan orang yang bertanggungjawab atas perceraian ini untuk menghindarkan mereka dari rasa bersalah yang berkepanjangan. Banyak anak mengira perceraian kedua orangtua disebabkan oleh kesalahan atau kenakalan mereka apalagi bila orangtua sering membawa-bawa nama anak ketika bertengkar.

Pemberitahuan tentang rencana perceraian dapat disertai dengan rencana untuk kehidupan anak ke depan, seperti dengan siapa mereka akan tinggal, apakah mereka harus pindah sekolah atau bagaimana dan seberapa sering mereka akan berjumpa dengan ayah/ibu sebagai pihak yang meninggalkan rumah.

Kerap anak mempertanyakan mengapa ayah dan ibu harus bercerai. Jawablah pertanyaan anak secara jelas dan jujur tanpa harus membuka seluruh detil kehidupan orangtua. Contohnya, jika kehadiran orang ketiga sebagai penyebab perceraian, dapat dijelaskan secara ringkas bahwa “ketika menikah dahulu, ayah dan ibu saling mencintai. Sekarang kami tidak saling mencintai lagi. Ayahmu mencintai orang lain dan memutuskan untuk tinggal bersama orang itu.” Jika kehancuran komunikasi menjadi penyebab, dapat dikatakan bahwa, “Ayah dan ibu terlalu banyak bertengkar akhir-akhir ini sehingga melukai hati masing-masing dan hati anak-anak. Agar tidak bertengkar lagi, ayah dan ibu memutuskan untuk hidup terpisah dan tinggal di rumah yang berbeda.”

Setelah pemberitahuan disampaikan, berikan waktu pada anak untuk mencerna pesan itu. Kerap kali mereka membutuhkan kesempatan untuk dapat mengekspresikan kesedihan atau kemarahan. Karenanya, sangat penting untuk membuka komunikasi. Berilah kesempatan pada anak untuk mencurahkan isi hati mereka. Bila mereka terus bertanya atau merengek agar kedua orangtua kembali bersatu, berikan jawaban secara jujur dan jelas tentang kondisi perkawinan. Jangan terpancing memberikan harapan untuk bersatu kembali bagi anak bila Anda tidak dapat memenuhinya.

Dalam menghadapi perceraian, banyak orangtua mengalami emosi bergejolak. Sebagian orangtua menyembunyikan perasaan mereka di hadapan anak. Sebenarnya, orangtua dapat berbagi perasaan dengan anak dengan menceritakan perasaan sedih, kehilangan, marah, lega sekaligus mengajak anak terbuka menceritakan perasaannya. Dengan demikian, anak dapat menggali dan mengenali perasaan mereka sendiri. Namun, perlu dicatat bahwa berbagi perasaan tidak berarti orangtua dianjurkan berbicara dengan anak pada saat emosi sedang meledak-ledak. Tunggulah hingga Anda cukup dapat mengontrol emosi sebelum membicarakannya dengan anak.

Anda Bercerai, Anak Tidak

Dalam situasi konflik menjelang perceraian, tanpa disadari orangtua sering melibatkan anak dalam konflik. Keterlibatan anak di tengah konflik orangtua dapat menyebabkan dampak yang merugikan bagi perkembangan psikologis anak. Sejauh dimungkinkan, setelah bercerai anak seyogyanya tetap memiliki hubungan yang baik dengan kedua orangtua.

Marston (1994) mengidentifikasi 4 pola umum yang kerap digunakan orangtua yang sedang berkonflik: (1) Pola menjatuhkan nama baik. Kemarahan yang sangat terhadap (ex-) pasangan kerap membuat orangtua tidak sadar menceritakan keburukan dan kelemahan mereka di hadapan anak. “Ayahmu tidak bertanggungjawab. Ibu yang membiayai semua keperluanmu. Ayahmu enak-enakan pergi dengan orang lain. Laki-laki macam apa dia!” atau “Yah… seperti itulah ibumu. Dia selalu emosi tinggi dan marah-marah seperti orang tidak waras. Siapa yang kuat tinggal dengan orang macam ibumu!” adalah kalimat-kalimat yang umumnya disebutkan di hadapan anak-anak. Hal yang perlu diingat adalah walaupun sebenarnya kemarahan ditujukan pada (ex-)pasangan, anaklah yang sangat menderita karena mereka harus mendengar kata-kata yang menjatuhkan ayah atau ibu mereka sendiri. Anak menjadi sangat tertekan ketika orang yang mereka cintai dikritik secara tajam. Bila Anda terjebak kemarahan yang sangat, salurkanlah perasaan pada orang dewasa yang memahami situasi Anda, alih-alih menyalurkannya kepada anak.

(2) Pola detektif. Dalam konflik rumahtangga, anak kerap dilibatkan sebagai ‘mata-mata’ orangtua. “Apakah kemarin siang Ibu pergi? Kemana? Dengan siapa? Apakah Ibu beli baju baru lagi?” atau “Waktu kamu diajak Ayah jalan-jalan minggu lalu, siapa saja yang ditemui? Apa yang dibicarakan?” Dalam situasi seperti ini, anak ditumbuhkan dalam suasana saling mencurigai. Mereka diminta mengamat-amati perilaku orangtua, bak detektif. Dalam jangka panjang, anak belajar untuk tidak dapat menghargai kepercayaan (trust) terhadap orang lain.

(3) Pola agen rahasia. “Nak, Ibu barusan mengundang teman-teman ibu datang ke rumah. Jangan bilang-bilang Ayahmu ya” atau “Jangan bilang Ibumu kalau barusan Ayah mentraktirmu makan di restoran yang mahal. Nanti Ibu pikir Ayah banyak uang” adalah contoh bahwa anak sering dilibatkan sebagai agen yang memegang rahasia besar. Meminta anak menjaga kerahasiaan adalah memberikan beban mental tambahan pada anak, selain mendidik mereka untuk menjadi orang yang berbohong dan menutup-nutupi. Banyak anak ‘tidak kuat’ dengan tekanan mental seperti ini sehingga mereka mengalami gangguan tidur diiringi mimpi buruk atau gangguan perilaku, seperti menjadi ekstra-nakal atau bermasalah di rumah dan sekolah.

(4) Pola pembawa pesan. Orangtua yang berkonflik kerap menghindari komunikasi dengan (ex)pasangan. Mereka menggunakan anak sebagai pembawa pesan: “Ingatkan Ayah untuk membayar uang sekolahmu bulan ini” atau “Bilang sama Ibu untuk menjemputmu pulang dari les gitar nanti sore. Ayah ada rapat mendadak hari ini”. Melibatkan anak-anak dalam komunikasi seperti ini sangat rentan terhadap kemungkinan salah pesan atau salah paham. Selain itu, anak merasakan efek ping-pong karena ia harus pergi mondar-mandir antara ayah dan ibu untuk menyampaikan pesan. Mereka belajar menghindari komunikasi langsung pada kehidupan mereka sendiri. Belum lagi, anaklah yang harus menghadapi dampratan dari pihak yang diberi pesan sehingga mereka menanggung beban psikologis yang berat, “Ibumu selalu minta uang… uang… uang…” atau “Ayahmu seenaknya sendiri! Dia tidak peduli pada anaknya!” adalah jawaban yang sering dilontarkan kepada anak terhadap pesan yang disampaikan. Orangtua terlalu emosional untuk mengingat bahwa bukan anak yang membuat pesan itu dan tidak sepantasnya mereka menerima dampratan.

Beberapa orangtua bahkan menambahkan teknik manipulatif dalam pola pembawa pesan, seperti “Kamu aja yang minta uang pada Ayah. Kalau ibu yang minta, pasti Ayah menolak, tapi kalau kamu yang minta pasti diberi. Kamu kan anak kesayangan Ayah”. Tanpa disadari, orangtua telah mendidik anak menjadi manipulator ulung.

Orangtua perlu menyadari bahwa pola-pola komunikasi di atas berdampak negatif bagi kesehatan mental anak. Pola-pola di atas juga dapat membuat hubungan anak dengan salah satu orangtua menjadi buruk. Padahal, perlu disadari bahwa walaupun suami-istri bercerai, anak-anak tetap berhak mendapatkan kasih sayang lengkap dari kedua orangtua. Orangtua perlu memiliki kedewasaan emosi dan sesedikit mungkin melibatkan anak ke dalam konflik mereka.