“Alat sang tuan tidak akan pernah membongkar rumah dari tuan itu sendiri. Apa artinya kalau alat patriarki yang rasis digunakan untuk memeriksa produk patriarki itu sendiri? Kalaupun perubahan itu mungkin dan dibolehkan, bukankah ia akan bersifat terbatas?†-Audre Lorde.Â
Mungkin, bagi kita, sudah jelas apabila bukanlah hal yang masuk akal jika dalam menghadapi kekerasan seksual, kita menggunakan “alat-alat tuan” (patriarki) yang secara instititusional mengizinkan dan melanggengkan kekerasan berbasis gender.  Lantas, kita mungkin berpikir bahwa teknik konseling mainstream dan praktik ‘membantu penyintas perempuan’ konvensional sudah pasti bebas dari nilai pelanggeng penindasan perempuan.
Sayangnya, ilmu pengetahuan dan pengandaian konsepsi (pre-conceived notion) yang mungkin kita terima begitu saja seringkali bersifat konstruktivis. Sebagai produk sosial, ia akan cenderung untuk  tercemari oleh budaya-budaya yang dilanggengkan pihak penguasa. Seringkali, pengandaian prakonsepsi, pemikiran, norma dan mitos yang ada, serta-serta ilmu mainstream bersifat patriarkis. Lha, kok bisa? Perlu diingat bahwa simbiosis kapitalisme-patriaki yang tak bisa dipisahkan dan bagai bayi kembar yang tak bisa dipisahkan, dikotomi antara kapitalisme dan patriarki ini sendiri pun sudah semakin kabur. Padahal, pihak penguasa sendiri menggunakan modus operandi bersifat kapitalis untuk melanggengkan kekuasaannya. Klaim De Vauth, misalnya, dengan menggunakan ilmu inilah, aparat produksi ilmu telah mengkonstruksi dan melanggengkan penindasan terhadap perempuan dengan sadar, sengaja dan berkelanjutan.  Oleh sebab itu,  menjadi hal yang sangat penting untuk terus mendekontruksi paradigma, dan ‘budaya’  yang sering dipakai dalam ‘membantu’ dan ‘memberdayakan’ penyintas kekerasan seksual. Salah satunya adalah melalui konseling berbasis feminisme.
Sebelum membahas konseling berbasis feminism lebih lanjut,  ada baiknya jika membongkar apa yang bisa disebut sebagai budaya ‘nafsu (untuk) membantu’, atau bahkan lebih mengarah ke ‘obsesi untuk memberdayakan’. Seringkali kita menganggap bahwa adalah hal yang perlu untuk ‘memberdayakan’ dan  ’memulihkan’ penyintas.  Lewat pernyataan yang seolah ‘berniat baik’ ini, sebenarnya kita sedang melanggengkan status ke-liyan-an perempuan penyintas kekerasan seksual . Operasi bahasa yang kita anggap remeh temeh ini sebenarnya kemudian memberi makna baru dengan kesetimpangan relasi kuasa yang baruyang kemudian diasosiakan dengan penyintas.  Seolah penyintas kemudian dianggap membutuhkan ‘uluran tangan’ dari seorang penolong. Seolah tanpa kita, penyintas tidak akan bisa melanjutkan hidupnya .
Pemberian (pembuatan) peran melalui bahasa dan dikotomi biner penolong/â€yang ditolong†di mana penyintas dianggap seseorang yang ‘membutuhkan uluran tangan’, ini berarti sama saja dengan menciptakan sebuah relasi kuasa yang baru. Sebuah relasi kuasa di mana penyintas berada pada posisi yang lebih lemah dan ‘membutuhkan’ sedangkan konselor yang ‘membantu’ berada di atas hierarki sebagai ‘juruselamat’. Mengingat penyintas kekerasan seksual yang baru saja mengalami kekerasan yang terjadi karena relasi kuasa, perlukah kita menekankan dan menempatkan penyintas pada kesetimpangan relasi kuasa yang baru?
Terlepas dari niat baik atau tidak, kita harus sadar bahwa sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan dan kecenderungan untuk ingin menjadi ‘pahlawan’ bagi seseorang. Kasarnya sering disebut sebagai ‘messiah complex’.  Ada euphoria tersendiri ketika kita merasa menjadi ‘penyelamat dunia’ di mana dunia seolah-olah membutuhkan kita agar bisa tetap berkelanjutan. Misalnya,masyarakat Barat—difasilitasi oleh wacana kolonialisme— sering ‘mengasihani’ perempuan dari Dunia Ketiga (Third World) yang dianggap ‘terbelakang’ dan ‘membutuhkan pencerahan’.
Lantas, di mana permasalahannya? Selama kita menganggap kita sebagai juruselamat, kita telah merebut focus dari konseling dari penyintas itu sendiri.  Penekanan akan ada pada kita yang ‘menolong’ penyintas. Sering tidak kita berkata , “waduh, kalau aku sakit, siapa yang akan menolong mereka?†atau semacamnya?  Kita akan merasa kita ‘memikul’ misi mulia dan beban dari hidup orang lain. Di satu sisi kita merasa ‘dibebani’, tapi bohong jika tidak ada euphoria yang kita dapat dari apa yang kita anggap sebagai beban. Fokusnya bukan lagi pada penyintas, tapi pada kita dan euphoria kita. Penyintas kemudian hadir hanya sebagai seolah-olah objek masturbasi ego. Penyintas hanyalah diperalat menjadi bentuk validasi bahwa kita adalah masyarakat yang ‘melek’ penindasan dan merupakan penolong yang dibutuhkan.
Oleh sebab itu, bagi konseling berbasis feminisme, hubungan antara konselor dan konselee bukanlah hubungan antara juruselamat dan orang yang perlu pertolongan validasi. Dalam konseling feminis, hubungan konselor dan konselee adalah setara. Konselor berjalan bersama sebagai sahabat dari konselee, yang berjalan bersama menvalidasi pengalaman satu sama lain, dan saling membongkar nilai masing-masing pribadi yang bisa meremehkan status kemanusiaan satu sama lain.
Bahkan, mengingat pengalaman perempuan adalah sumber teoritis dan sumber empiris, yang mentransformasi nilai, cara pandang dan perspektif kita , penyintas beserta pengalamannya adalah guru kita yang terbaik. Makanya sering kita mendengar “dalam pengalamannya, mungkin berbeda dari teoriâ€. Seiring bertambahnya pengalaman, kita akan menemukan cara khas kita dalam berjalan bersama  penyintas. Mengingat masing-masing penyintas berbeda satu sama lain, pengalaman penyintas yang unik akan memperkaya perspektif kita. Itulah sehingga penyintas beserta pengalamannya adalah guru kita yang terbaik. Bukankah kata Paula A Treichler, Feminis ‘â€mementingkan pengalaman individu dan bersama perempuan†serta “membangun cerita umum tentang pengalaman mereka dari kasus tunggal†?
Perbedaan lain yang mencolok adalah, konseling mainstream—maupun ilmu mainstream yang menganut paradigma positivitisme— dengan bangga mengagungkan netralitas dan menolak untuk berpihak. Padahal, netralitas adalah keberpihakan baru pada sesuatu yang diyakini secara universal dan dominan; Sesuatu yang sangat mungkin merupakan hasil pemaksaan oleh pihak penguasa. Salah satunya adalah nilai bersifat patriarkis, dengan alasan seperti yang dijabarkan sebelumnya.
Berbeda dari ketentuan konseling mainstream pada umumnya di mana konselor harus mengambil jarak dan tidak boleh melibatkan emosi agar hasilnya ‘objektif’ dan ‘netral’, konseling berbasis feminisme justru mengangap sebaliknya.  Bahkan, sedari awal, konseling berbasis feminisme sedari awal dari awal menyatakan keberpihakannya terhadap penyintas serta pengalaman empirisnya, sehingga ia menolak mencegah keterlibatan dari pengalaman penyintasnya. Ia juga melawan segala sistem yang melanggengkan penindasan terhadap penyintas dengan lantang. Nilai yang dianut kemudian akan menjadi pedoman, basis dan fondasi dalam memetakan dan menuntun kita, serta menentukan metode yang kita pakai dalam konseling. Tanpa keberpihakan yang jelas berarti sama saja dengan tanpa pedoman. Kita akan mudah terombang ambing dan bisa menjadi sasaran empuk untuk ditunggangi. Perlu kita sadari bahwa simbiosis kapitalisme-patriarki ada di mana-mana dan terus menerus mencari mangsa untuk ditunggangi. Akibat dari kegagalan berpihak di tengah-tengah dominasi simbiosis ini? Metode kita akan bisa dipakai untuk memperkuat hierarki dan kesetimpangan kelas dan relasi kuasa dalam setiap relasi, dan ini akan cenderung merasionalisasi setiap kekerasan jenis berbasis gender yang ada.
Selain itu, dengan menolak menjadi netral, ini berarti kita paham sepenuhnya bahwa kekerasan berbasis gender adalah unik dan tidak bisa disamakan dengan kekerasan berbasis lain. Kekerasan berbasis gender umumnya terjadi karena oleh kesetimpangan relasi kuasa berbasis gender ranah privat dan publik, yang dilanggengkan oleh nilai-nilai masyarakat yang bersifat patriarkis. Dalam hal ini, konseling berbasis feminisme bukan berarti gender-blind di mana seolah-olah sudah tidak ada perbedaan serta ketidakadilan kelas dan tidak ada perbedaan ekspektasi dan perlakuan antar gender. Alih-alih kita bersikap adil dan setara terhadap semua gender, dengan menjadi gender-blind, kita malah tidak sadar atau malah sengaja menutup mata atas ada bias gender yang ada pada masyarakat. Padahal, justru ini diakibatkan oleh kesetimpangan relasi kuasa  dan eksploitasinya. Oleh sebab itu, pendekatan konseling feminis harus melibatkan kerangka analisis gender.
Menjadi tidak gender-blind juga berarti sebagai laki-laki, saya tidak bisa sepenuhnya memahami pengalaman dan narasi dari perempuan. Memang perbedaan yang ada bukan intrinsic maupun “takdir†apalagi “kodratâ€, namun ekspektasi masyarakat telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga perempuan mengalami penindasan dan narasi yang unik dan berbeda dari pengalaman yang dialami laki-laki.  Akibatnya, relasi kuasa yang tidak seimbang, dominasi nilai patriarki dan aturan yang dibuat laki-laki  ini bahkan membuat perempuan meragukan eksistensinya sendiri, dalam arti yang tidak dialami laki-laki.  Perempuan diletakkan, bahkan oleh perempuan itu sendiri, menjadi liyan yang eksistensinya harus bergantung pada pengakuan laki-laki yang dianggap (essential). Perempuan dibiasakan untuk  menghirup udara bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi melalui relasinya dengan orang lain. Oleh sebab itu, ada batasan sebagai laki-laki dalam meresapi, mengartikan, memahami dan mentranslasi pengalaman perempuan. Kita tidak boleh memaksakan narasi kita.
“To feel someone’s pain is one thing, and living that pain is another. You might have felt it, but some of us have lived it. Your experiences cannot be the same as mine,†ujar Writers dan Nagar, salah satu pemikir  dengan paradigma Feminisme yang menawarkan feminisme dari perspektif ‘unik’ seorang warga India. Ini memanglah benar. Tiap konselor dan penyintas mengalami pengalaman yang unik yang dipengaruhi oleh konteks yang mempengaruhi perspektif penyintas dalam menanggapi pengalaman tersebut. Ini berarti kacamata kita dalam memahami pengalaman orang pun dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kita anut serta pengalaman kita. Sehingga, diakibatkan pengalaman yang unik, ada bagian di mana kita tidak bisa memahami perspektif dan pengalaman orang lain sepenuhnya. Oleh sebab itulah, dengan menyadari bahwa kita tidak bisa sepenuhnya terlepas dari nilai-nilai kita, yakni kita tidak bisa menjadi  sepenuhnya objektif, kita menyadari batasan kita sebagai sahabat.
Yang diperlukan, lantas, adalah metode ala-ala differentiated citizenship. Kita memberi validasi pengalaman penyintas  yang berbeda lalu mempersiapkan mekanisme unik yang dikhususkan dan dimodifikasi unik untuk masing-masing individu, sehingga kita bisa memfasilitasi agar keterbatasan kita tidak menjadi penghalang Jika tidak bisa? Ya, kita mengakui kita semua manusia. Kita bukan Tuhan yang Maha Benar, kita apalagi bukanlah pribadi penyintas tersebut itu sendiri; Lantas, apakah kita berhak untuk memaksakan perspektif kita ke individu penyintas tersebut. Emang siapa kita? Ingat, kita bukanlah otoritas dari hidup dirinya; Kita hanyalah sahabat bagi dia yang seharusnya berjalan bersama-sama, bukannya mendorong dan memaksa dia, memojokkan dia ke dalam sebuah relasi tidak sehat yang baru.
Dengan artikel ini, harapannya kita semua, tak terlepas dari penulis, harus menjadi lebih kritis atas budaya ‘penanganan’ kekerasan berbasis gender yang diterima mentah-mentah di masyarakat. Nyatanya, penanganan kekerasan berbasis gender konvensional seringkali mereduksi penyintas menjadi ‘korban’ yang patut ‘diberdayakan’. Acap kali, emphasis direnggut dari penyintas dan pusat perhatian diberikan pada ‘kebenaran’, ‘fakta’ dan ‘investigasi apa yang telah terjadi’. Selain itu, adalah hal yang ironis jika mengingat kekerasan berbasis gender terjadi karena kesetimpangan relasi kuasa,  tetapi penanganan kekerasannya malah menaruh perempuan menjadi pihak subordinasi dari ‘penolong’.
Melalui nilai-nilai patriarkis yang dilanggengkannya, masyarakat sayangnya masih menganggap penyintas tidak bisa ‘menyelamatkan dirinya’ tanpa adanya kehadiran diri ‘penolong’ dan ‘juruselamat’.  Nilai-nilai dan mitos ini yang meremehkan ke-manusiawi-an perempuan penyintas ini justeru terinternalisasi di diri penyintas. Penyintas kemudian tidak mempercayai kapasitas dirinya sendiri, dan lucunya, masyarakat merasa ‘gregetan’  dan ‘gemas’ melihat ‘ketidakmampuan’ penyintas. Kadang, ketergantungan penyintas yang baru terhadap konselor tak sengaja diciptakan akibat hal ini karena kegagalan kita menyadari hal ini. Ini justeru malah menjerumuskan penyintas ke jurang kesetimpangan hierarki relasi kuasa yang baru.
Sejatinya, seperti yang ditekankan berulang-ulang,  pengalaman perempuan merupakan sumber pengetahuan dan sumber perlawanan terhadap penindasan. Namun, kondisi yang rentan menjerumuskan penyintas perempuan inilah yang menjadi penyebab kenapa pengalaman perempuan yang dikondisikan dan didisiplinkan sedemikian rupa sehingga pengalaman perempuan bisa digunakan oleh masyarakat sebagai agen opresif yang lain.
Oleh sebab itu, selalui melalui validasi  pengalaman penyintas perempuan serta solidaritas, demistifikasi mitos-mitos yang meremehkan kemanusiawian perempuan perlu terus dilakukan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyintas. Di sini konseling berbasis feminism hadir untuk menyadarkan  kembali masyarakat bahwa perempuan penyintas itu adalah titik tolak hidupnya sendiri, serta hanya dirinya sendirilah yang mampu menjadi agen katalisis untuk pembebasan dirinya.
Idealnya, kita menjadi sahabat penyintas; Sahabat yang berjalan bersama; Sahabat yang saling belajar; Saling memetik pelajaran maupun bahan hiburan dari satu sama lain; Sahabat yang saling mengkritik mitos-mitos yang telah dijejalkan masyarakat ke diri kita dan mampu mendiskriminasi orang lain. Jangan sampai kita membuat hierarki maupun relasi kuasa yang baru. Mengingat kita semua bisa menjadi mangsa dan pelanggeng (dari) nilai-nilai perenggut status kemanusiaan seseorang, kita semua perlu terus menerus memperbaharui perspektif kita tentang konseling berbasis feminis, bersamaan juga dengaan bertambahnya pengalaman baru dari kawan-kawan lain.