Diskusi Bersama Membangun Kesadaran Pentingnya Budaya Anti Kekerasan di Kampus

Foto oleh: BEM FISIP UPN Veteran Jatim

BEM FISIP UPN Veteran Jatim menyelenggarakan diskusi terbuka berjudul “Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual: Menyoal Penyalahgunaan Otoritas di Berbagai Sektor” pada 2 Juni 2025 di gedung Fakultas Ilmu Sosial, Budaya, dan Politik UPN Veteran Jatim. Diskusi ini dihadiri oleh orang muda dan para sivitas akademika, mendiskusikan pengetahuan terkait isu kekerasan seksual di ranah kampus. Poin pembahasan diskusi berkaitan dengan definisi relasi kuasa, pewajaran budaya kekerasan yang kadang tidak disadari, pentingnya keterlibatan Satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) yang berperspektif korban, dan kebutuhan program yang mendukung pemulihan hak-hak korban kekerasan seksual di kampus. Gusti Ayu Made Kayika mewakili Savy Amira WCC hadir sebagai narasumber diskusi bersama dengan Januari Pratama Nurratri sebagai perwakilan Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jatim.

Dari perspektif pekerja sosial, Kayika menjelaskan jika relasi kuasa diartikan sebagai posisi yang tidak seimbang antara pelaku dengan korban kekerasan dari berbagai faktor, seperti gender, jabatan, reputasi, status ekonomi, yang menempatkan korban di posisi terdesak karena ‘dikuasai’ oleh pelaku. Relasi kuasa pun tidak harus seperti jabatan yang hierarkis, ini juga bisa didapatkan di dalam relasi personal, seperti pacaran, pertemanan, antara dosen dengan mahasiswa, antara anggota ormawa dengan mahasiswa, dan antara publik figur dengan masyarakat.  Kayika pun menyebutkan jika relasi kuasa sering dianggap tidak valid hanya karena faktornya tidak terlihat atau tidak kasat mata, padahal ketimpangan relasi kuasa justru menjadi faktor pendorong pelaku mengendalikan korban dan merebut hak-hak mereka. Di konteks perguruan tinggi, Ratri menyebutkan jika penyalahgunaan relasi kuasa sebagai pemicu kekerasan seksual tidak selalu dimulai dari hal besar, justru pewajaran atau normalisasi budaya kekerasan seperti normalisasi candaan seksis, pelecehan verbal (catcalling), dan suka menyentuh tubuh tanpa izin, menyebabkan masalah-masalah kekerasan ke level yang lebih kompleks. 

Tidak jarang sebenarnya pengakuan korban yang kebanyakan disampaikan oleh mahasiswa mengatakan kalau pelaku kerap kali merasa perbuatan genit adalah hal yang wajar dan sebagai pujian semata. Namun, ketika pelaku ditegur karena korban merasa tidak nyaman, pelaku malah menganggap korban berlebihan. Hal seperti itu sudah saatnya tidak dibiasakan karena termasuk level awal budaya menormalisasi kekerasan, yaitu objektifikasi tubuh. Ratri pun menyampaikan jika pengetahuan soal pendampingan kasus yang mengedepankan kebutuhan korban masih perlu diimplementasikan secara konsisten oleh staf Satgas PPKS. Tidak hanya tentang memastikan kebutuhan korban terpenuhi dan memvalidasi pengalaman korban, tetapi juga melindungi keamanan korban dan tidak mendikte mereka seakan-akan mereka tidak berdaya. Apalagi, ketika merasa lebih tahu dari korban dengan mengatur berlebihan keputusan mereka atas tindakan yang perlu dilakukan agar kasusnya ditangani dengan bijak, ini adalah tindakan yang perlu dievaluasi di dalam internal unit Satgas PPKS. Kedua pembicara pun menyatakan jika Satgas PPKS sudah semestinya konsisten meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya demi memberikan penanganan yang adil dan sensitif gender, salah satunya transparan terhadap setiap kinerja mereka sebagai unit layanan bantuan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. 

Pada konteks KBGO, kedua pembicara pun sepakat apabila relasi kuasa di ruang digital masih menjadi hal-hal yang perlu dikaji untuk mendorong advokasi kebijakan terkait regulasi platform yang mampu melindungi korban dari risiko reviktimisasi akibat perpanjangan tangan pelaku yang menyebarkan konten intim non-konsensual di media sosial. Reviktimisasi atau kondisi korban mengalami dampak bertubi-tubi sebagai korban di ruang digital ketika menghadapi dampak KBGO akibat perbuatan pelaku pun perlu menjadi catatan khusus aparat penegak hukum (APH) saat merespon kasus KBGO, supaya tidak melewatkan fakta terhadap adanya relasi kuasa di ruang digital yang sama validnya dengan relasi kuasa di ruang publik, walaupun pelakunya anonim. Meskipun penanganan KBGO masih banyak yang belum bisa terakomodasi secara hukum di UU TPKS, pendampingan korban KBGO perlu dipastikan tidak melewatkan perspektif korban yang adil dan sensitif gender. 

Kesimpulan diskusi terbuka bersama BEM FISIP UPN Veteran Jatim menghasilkan rekomendasi yang mendorong keterlibatan kerja sama yang inovatif antar organisasi kampus dengan birokrasi sekaligus melibatkan organisasi masyarakat sipil yang relevan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyusun rekomendasi strategis sebagai saran terbuka terhadap kinerja Satgas PPKS, melakukan analisis gender ketika menyediakan infrastruktur atau program kampus, menyediakan infografis seputar isu kekerasan khususnya tentang cara membantu korban kekerasan, dan mengembangkan kampanye gender awareness berkelanjutan (contoh: kurikulum kuliah yang berhubungan dengan isu gender, diskusi tematik isu gender, mengorganisir gerakan gender di kampus, dan pameran seni bertemakan isu gender). 

Savy Amira WCC menerima kerja sama pelatihan kampanye proaktif melawan budaya kekerasan dan pelatihan bagi internal satgas PPKS. Jika tertarik mengadakan diskusi, pelatihan advokasi, atau collective care sebagai peningkatan kapasitas pendampingan isu kekerasan berbasis gender (KBG), silakan email kami di savyamirawcc@gmail.com atau mengisi formulir bit.ly/kerjasamasavyamira.