Buka Partisipasi Masyarakat Sipil

Pertahankan Hal-hal Prinsip dalam RUU PKS.

Jakarta. KOMPAS – Pemerintah agar membuka ruang diskusi dengan organisasi non-pemerintah dalam membahas draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Dengan demikian, masyarakat sipil bisa berpartisipasi dengan memberi masukan sebelum draf RUU itu dibahas di DPR.

Selain mengundang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) selaku kementerian yang memimpin proses RUU penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) seharusnya juga mengundang organisasi atau lembaga pendamping korban kekerasan seksual.

“Kalau sekarang pemerintah memangkas sebegitu banyaknya pasal dalam draf RUU PKS, termasuk substansinya, seharusnya pemerintah memberi ruang untuk masyarakat sipil berpartisipasi dalam proses RUU PKS. Tapi, ini sama sekali enggak ada ruang untuk partisipasi masyarakat sipil,” ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu di Jakarta, Minggu (29/10).

Akhir pekan lalu, Komnas Perempuan dan Lembaga Pengadaan (LPL) mempertanyakan langkah pemerintah yang mengurangi jumlah bab dalam draf RUU PKS dari 15 bab menjadi 13 bab dan mengurangi dari 152 pasal menjadi 50 pasal. Pemerintah juga mengusulkan pengurangan tindak pidana kekerasan seksual dalam draf RUU dari sembilan menjadi empat tindak pidana. Sebagian besar materi yang dikurangi itu termasuk dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang menurut Komnas Perempuan dan LPL merupakan elemen kunci.

Karena itu, kata Azriana, Komnas Perempuan selaku lembaga yang diperintahkan Presiden untuk mengawal proses tersebut meminta Kementerian PPPA memfasilitasi ruang diskusi dan mengundang masyarakat sipil untuk membasah DIM pemerintah. “Sampai sekarang proses itu belum ada. Padahal, partisipasi masyarakat sipil sangat penting, KPPA tidak bisa mengajukan DIM tanpa ada partisipasi masyarakat sipil,” ujarnya.

Cek kosong

Komnas Perempuan tidak mempermasalahkan pengurangan pasal-pasal dalam draf RUU PKS sepanjang hal-hal prinsip yang mengatur soal kekerasan seksual tidak dihilangkap. “Ini bukan berapa jumlah pasal dalam RUU tersebut, melainkan subtansinya yang penting. Kami melihat, selain pasalnya dikurangi, substansinya juga dihilangkan. Itu yang kami keberatan karena ini menyangkut persoalan hidup orang, martabat kemanusiaan orang,” kata Azriana.

Komnas Perempuan meminta jaminan jika memang ada penguranan pasal, pemerintah harus memastikan dalam proses pembahasan RUU pKS hingga menjadi UU PKS nanti ada pasal yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah. “Kalau pemerintah hapus-hapus saja dan tidak ada jaminan apa pun, kami tidak mau. Itu seperti diberikan cek kosong,” katanya.

Secara terpisah, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu lalu, Kelapa Biru Hukum dan Humas Kementerian PPPA Hasan mengatakan pemerintah menganggap penting RUU PKS. Namun, katanya pembahasan dengan kementerian/lembaga terkait tidak mudah karena masing-masing mempunyai kepentingan. “Susah menyamakan persepsi,” ujarnya.

Terkait dengan pengurangan pasal, bab, dan tindak pidana dalam draf RUU PKS, menurut Hasan, hal itu karena pasal-pasal tersebut terlalu mengatur urusan teknis. Pengurangan dari 152 pasal menjadi 50 pasal, misalnya, dilakukan karena pemerinta menilai pasal-pasal yang diajukan terlalu tekniik atau mengulang yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.