Tanpa Bhinneka, Tak Mungkin Indonesia

Ditulis oleh: Andy Yentriyani – Komnas Perempuan

Delapan puluh empat tahun yang lalu, pada 28 Oktober 1928, anak-anak muda dengan latar belakang yang beragam bersama-sama menyatakan diri sebagai satu kesatuan Indonesia dengan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. Peristiwa yang dikenali dengan Sumpah Pemuda inilah yang menjadi tonggak cikal bakal negara bangsa Indonesia, yang diproklamirkan kemerdekaannya 17 tahun kemudian.

Hari ini, identitas bangsa Indonesia yang berangkat pada penghormatan atas kebhinnekaan masyarakat Indonesia justru di ujung tanduk. Beberapa indikasinya adalah:

Pembiaran kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas terus bertambah dari tahun ke tahun.

Pada Agustus 2012, Komnas Perempuan mencatat adanya 282 kebijakan diskriminatif, atau bertambah 128 kebijakan sejak pertama Komnas Perempuan menyampaikan persoalan ini secara resmi kepada otoritas negara pada Maret 2009. Sebanyak 126 kebijakan diskriminatif ini diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk tujuan pencitraan daerah berdasarkan agama mayoritas. Disebut diskriminatif karena kebijakan tersebut membatasi, menghalangi dan mengabaikan jaminan pemenuhan hak asasi yang telah dijamin di dalam Konstitusi.

Sebanyak 207 dari 282 kebijakan tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan. Diantaranya, ada 60 kebijakan memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan tentang prostitusi dan/atau pornografi, 38 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam yang mewajibkan perempuan untuk berpergian hanya bila ada pendamping (muhrim) pada rentang jam tersebut, dan 7 kebijakan yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam menikmati haknya untuk bekerja lewat aturan tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas ini mengakibatkan pengeroposan wibawa hukum. Aturan tentang busana, misalnya, dikenali sebagai aturan sia-sia yang dimaksudkan untuk pencitraan semata. Dalam implementasi kebijakan diskriminatif kerap dilaporkan salah tangkap, pemerasan dan penghakiman semena-mena, seperti diarak, disiram air got, dinikahkan paksa dan bentuk-bentuk hukuman untuk mempermalukan seseorang di depan umum, seperti digunduli atau dimandikan.

Di daerah-daerah yang memiliki kebijakan diskriminatif, tindakan intoleransi juga bermunculan. Pemerintah Banda Aceh sebagai contoh, menangkapi anggota kelompok Punk dan menolak usulan masyarakat sipil untuk menyertakan pagelaran barongsai dan liong serta kehadiran narasumber non muslim dalam gelar kampanye memperingati perdamaian di Aceh.

Peningkatan sikap intoleransi terhadap minoritas agama

Dari 282 kebijakan diskriminatif, ada 31 kebijakan diskriminatif memberangus hak warga negara atas kemerdekaan beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, paling banyak terhadap Ahmadiyah. Adanya hak bagi negara untuk menyatakan mana aliran sesat dan mana yang legitimate menempatkan negara sebagai aktor aktif dalam mengucilkan dan menghukum kelompok minoritas agama.

Posisi negara yang tidak netral tampak pada berbagai peristiwa penyerangan terhadap kelompok minoritas agama. Sebagai pihak yang menjadi korban, anggota kelompok minoritas agama justru dikriminalisasi. Dalam kasus Cikeusik, anggota Ahmadiyah yang bertahan diri justru dihukum penjara dengan tuduhan memprovokasi kekerasan. Dalam kasus Sampang, pemimpin Syiah yang diserang justru dipenjara dengan tuduhan menyebarkan aliran sesat.

Di berbagai daerah, juga muncul desakan untuk melarang pendirian rumah ibadah. Bahkan, ketika izin untuk rumah ibadah telah diterbitkan dan berkekuatan hukum tetap. Kasus GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia adalah dua kasus mencuat. Dalam kasus GKI Yasmin, izin untuk mendirikan gereja telah dinyatakan syah oleh Mahkamah Agung. Otoritas nasional seolah tak memiliki kemampuan untuk memaksa walikota Bogor untuk tunduk pada hukum. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh sikap Mendagri, Gamawan Fauzi, yang memaksa GKI Yasmin untuk relokasi meskipun telah ditolak oleh warga setempat yang ditunjuk sebagai lokasi relokasi. Baik dalam kasus GKI Yasmin maupun HKBP Filadelfia, polisi yang berada di lokasi kejadian seolah berdiam diri membiarkan kelompok massa melakukan kekerasan terhadap jemaat yang sedang beribadah.

Penelantaran dan diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan

Dalam sistem negara Indonesia, saat ini ada 6 agama yang dianggap “resmi” karena dikenali dalam undang-undang. Agama-agama yang lain kerap tidak dikenali dan mengalami diskriminasi. Apalagi penghayat kepercayaan. Meskipun mereka adalah penganut agama leluhur, sebagian besar adalah masyarakat adat Indonesia, kehadiran mereka selalu dipertanyakan.

Pada masa Orde Baru, mereka dipaksa untuk memilih salah satu agama resmi bila hendak memperoleh KtP. Praktik serupa masih tetap berlangsung di banyak daerah, sekalipun telah ada UU Administrasi Kependudukan yang membolehkan pencatuman penghayat kepercayaan dalam KtP. Akibatnya, sejumlah banyak penghayat tidak memiliki KtP atau terpaksa memilih salah satu agama yang diakui negara. Tanpa KtP akan sulit bagi mereka untuk mengakses layanan publik yang lain, termasuk untuk menggunakan haknya untuk dipilih dan memilih.

Dalam hal pencatatan perkawinan, penghayat kepercayan juga berhadapan dengan aturan yang berbeda dari pemeluk agama. Harus ada pemuka agama dari organisasi terdaftar yang mensahkan perkawinan itu. Padahal tidak semua aliran penghayat punya organisasi, dan tidak semua penghayat mau berorganisasi. Selain itu, berorganisasi semestinya adalah hak, dan bukan kewajiban. Tanpa pencatatan perkawinan, anak hasil perkawinan itu tidak dapat memiliki akte kelahiran yang sama dengan anak lainnya, sebab nama ayah tidak tercantum.

Di daerah yang memiliki kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, kehadiran pengahayat kepercayaan juga dilihat sebelah mata. Dalam tata pemerintahan yang mengutamakan pencitraan agama, maka ritual penghayat kepercayaan malah dinilai sebagai sesuatu yang menodai citra tersebut hingga dilarang, karena memuat “hal-hal yang dinilai berbau syirik seperti membakar kemenyan, memakai wangi-wangian atau ritual tertentu.”[1]

Berhadapan dengan persoalan di atas, sejumlah komunitas korban merasa bahwa sikap masyarakat Indonesia pada umumnya adalah diam, tidak mau bersuara karena kuatir dengan intimidasi, karena tidak yakin perubahan akan terjadi, ataupun karena tidak peduli. Sikap inilah yang menjadikan proses advokasi untuk hak-hak korban sulit dan tidak berhasil, hingga kini.

Mengajak lebih banyak orang peduli, dan mau bersikap karenanya merupakan kebutuhan yang mendesak. Bukan saja untuk menguatkan korban, tetapi untuk memelihara janji bersama bangsa, untuk menempatkan Indonesia sebagai kesatuan berdasarkan penghormatan pada perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya.

[1] http://www.solopos.com/2010/11/26/bupati-danar-jamasan-pusaka-akan-tetap-diadakan-76739