Pendampingan Psikososial Korban Kekerasan Terhadap Perempuan

Dalam memahami kekerasan terhadap perempuan, kita juga harus memahami adanya kontrol sosial yang menjadi sebab akibat kekerasan tersebut. Kekerasan dimulai dari relasi yang memaksa dan ancaman, adanya pihak yang diposisikan lebih berkuasa terhadap pihak yang dianggap lebih lemah. Bentuknya bisa sangat nyata, misalnya ancaman, intimidasi, penganiayaan dan pembunuhan, namun juga bisa dalam bentuk yang sangat subtil, halus misalnya dengan ekspresi-ekspresi non verbal gerakah, melalui berbagai norma yang hidup dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya perempuan tidak patut untuk aktif di luar, karena tempatnya di dalam rumah, meskipun perempuan tersebut mempunyai potensi dan kepandaian. Sedangkan laki-laki, dikondisikan untuk aktif di luar rumah, harus pintar dan sebagai pemimpin.

 Nilai-nilai semacam itu masih diyakini dalam pola relasi sehari-hari. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, perempuan yang mengalami kekerasan posisinya menjadi lebih sulit, karena dia menerima berbagai stigma yang dikaitkan dengan nilai-nilai sosial. Misalnya, kasus perempuan (istri) yang dipukul suami karena memilih bekerja. Luka yang diderita perempuan tersebut bukan hanyak luka fisik tapi juga psikis. Selain itu, tudingan sebagai perempuan yang tidak menurut suami, istri yang berani pada suami, dsb, akan terus menempel dalam dirinya. Luka fisik akibat kekerasan mungkin bisa sembuh, namun luka hati akan lama sembuhnya dan berkemungkinan menetap seumur hidupnya – yang dapat menjadi trauma yang mempengaruhi perilaku dalam interaksi interpersonal maupun sosialnya.

Kekerasan terjadi jika salah satu pihak direndahkan. Namun, harus disadari juga bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan seringkali tidak bersifat tunggal, misalnya hanya dipukul atau dianiaya. Tapi bisa terjadi secara kontinum, artinya perempuan korban kekerasan dapat mengalami semua bentuk kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan bentuk pembebanan ekonomi, yang kesemuanya saling kait satu sama lain. Selain itu terjadinya pembunuhan yang berakhir dengan kematian pada perempuan korban merupakan efek dari kekerasan fisik dan psikis.

 Meskipun sangat beragam, secara umum efek-efek yang muncul dari kekerasan adalah:

  • Depresi
  • Tidak bisa melihat persoalan dan solusinya
  • Cemas
  • Bingung
  • Menarik diri dari lingkungan sosial
  • Rendah diri
  • Psikosomatis
  • Terganggunya kesehatan dan fungsi reproduksi
  • Memar
  • Patah tulang
  • Cacat tubuh
  • Kehilangan rasa percaya diri
  • Putus asa
  • Kematian dan bunuh diri, dsb.

 Perempuan korban kekerasan biasanya lebih banyak diam dalam menerima kekerasan tersebut, dan kita seringkali menyalahkan sikap itu. Sehingga tanpa sadar kita sebenarnya justru ikut menyalahkan korban. Padahal keterdiaman perempuan korban merupakan akibat kekerasan yang dialaminya, yaitu adanya siklus ketakutan dan nilai-nilai sosial budaya yang mengkondisikan perempuan diam karena berbagai alasan.

 Hal lain yang perlu dicermati adalah secara umum masyarakat kita diajarkan untuk mempunyai harapan bahwa semuanya akan kembali menjadi baik. Demikian pula yang terjadi pada perempuan korban kekerasan, bahwa apa yang terjadi padanya hanya kekhilafan sesaat. Pada kenyataannya, keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja merupakan bagian dari siklus kekerasan. Dari pengalaman Savy Amira menangani kasus kekerasan terhadap perempuan selalu terdapat kekerasan antar pribadi dan adanya siklus yang mempola, dimana relasi yang ada diwarnai oleh kontrol dan kekuasaan. Ada peran siapa yang kebih berkuasa dan mengatakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang kemudian melahirkan konflik karena merasa peran itu tidak dilakukan oleh pihak yang dikontrol. Konflik akan semakin kuat dan kontrol juga akan semakin diperketat yang kemudian berwujud sebagai kekerasan. Penyesalan setelah terjadinya kekerasan akan muncul pada pelaku dan hal ini menjadikan korban semakin yakin bahwa pelaku hanya khilaf. Perempuan korban yang terbiasa diajarkan untuk bersabar, bisa memaafkan pelaku, dan memberikan kesempatan pada pelaku untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Dalam tahap ini terbangun cinta dan harapan terhadap pelaku. Relasi yang muncul kembali menjadi indah, atau dikenal dengan fase honeymoon.

 Pada fase bulan madu atau honeymoon, perempuan yang sejak kecil dididik untuk melakukan peran yang mengutamakan relasi yang membuat orang lain merasa nyaman, merasa ada harapan hubungan akan membaik, dan ia lah yang harus bertanggung jawab atas kenyamanan pasangannya. Ketika ada konflik dan terjadi kekerasan lagi, maka siklus kekerasan yang meliputi terjadinya kekerasan, penyesalan pelaku, korban memaafkan dan honeymoon akan terulang dan terpola.  Dalam kasus kekerasan, bentuk asosiasi dari cinta adalah kekuasaan, maka tidak jarang perempuan korban kekerasan akan hidup dalam kepatuhan dan berusaha lebih baik seperti yang diingini oleh pasangannya.

 Mengapa Diperlukan Pendampingan bagi Perempuan Korban Kekerasan?

Perempuan korban kekerasan pada umumnya merasa dirinya adalah satu-satunya perempuan yang mengalami kekerasan. Oleh karenanya, mereka cenderung untuk menyalahkan dirinya sendiri. Kekerasan yang dialami oleh korban, juga mengakibatkan mereka menarik diri dari lingkungan sosialnya dan cenderung bertahan dalam relasi yang penuh dengan kekerasan. Biasanya korban merasa tidak mampu untuk bisa melihat persoalan yang mendasari kekerasan yang menimpanya apalagi untuk melihat jalan keluar. Seringkali korban merasa bingung, dikarenakan saat meminta bantuan orang lain dia akan diminta bersabar atau diminta untuk mencari kesalahan yang dia lakukan sehingga menerima kekerasan tersebut. Dalam kondisi ini, korban menjadi tidak berdaya dan putus asa. Korban merasa bahwa kekerasan yang menimpanya dikarenakan kesalahannya dan tidak ada orang yang bisa membantunya. Padahal sesungguhnya korban membutuhkan orang yang bisa menjadi teman berbagi atas apa yang dialaminya.  Disinilah pendampingan dirasakan sebagai suatu kebutuhan bagi para korban kekerasan.

Pendampingan Psikososial terhadap Korban Kekerasan

Dengan melihat kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut diatas, maka dalam melakukan pendampingan kita harus memahami konteks kekerasan tersebut. Perilaku  individu, baik korban maupun pelaku sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, ekonomi dan politik dimana nilai, norma, dan hukum yang berlaku di masyarakat dan Negara berpengaruh dalam melihat persoalan kekerasan terhadap perempuan. Perempuan korban, tidak hanya memerlukan penanganan medis untuk mengobati luka fisik atau penanganan hukum untuk mencari keadilan, namun korban kekerasan juga memerlukan pendampingan psikososial yang lebih mendalam untuk membangun kemandirian korban.

Pendampingan psikososial merupakan paduan antara penanganan psikologis dan penanganan sosial. Paduan ini menyatukan penanganan psikologis yang bertumpu pada pemahaman interpersonal korban dengan persoalan sosial budaya yang melingkupi kehidupan korban. Pendampingan psikososial terhadap korban kekerasan dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

  1. Prinsip keberpihakan terhadap korban

               Keberpihakan ini bukan diartikan untuk selalu membenarkan korban, tetapi  adalah pemahaman kita sebagai pendamping terhadap kompleksitas persoalan yang dialami korban baik secara interpersonal maupun sosial yang berkaitan dengan kekerasan yang terjadi.

  1. Prinsip tidak menyalahkan korban

                Prinsip ini menghindarkan pendamping untuk tidak melihat korban sebagai pihak yang ikut andil atas kekerasan yang dialaminya.

  1. Prinsip pemberdayaan korban

               Dalam pendampingan diharapkan korban mampu untuk bisa membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan bisa melepaskan ketergantungannya dalam bentuk apapun pada orang atau pihak lain.

  1. Penyadaran keadilan gender

              Dengan prinsip ini korban diajak untuk melihat kekerasan sebagai sebuah persoalan sosial dan bukan persoalan individual semata.

 Dengan prinsip tersebut, maka pendampingan psikososial bertujuan untuk:

  1. Membuat korban mampu memahami persoalan yang dialami secara lebih multidimensional.
  2. Membantu korban mengambil keputusan terbaik bagi dirinya dalam mengatasi masalah sekarang.
  3. Membantu korban mencegah dan menghadapi masalah di masa mendatang.
  4. Membantu korban menemukan dan menggunakan potensi-potensi dirinya.

 Untuk mencapai tujuan tersebut,maka dalam melakukan pendampingan psikososial ada tahapan yang umumnya dilakukan, yaitu:

  1. Mendefinisikan persoalan.
  2. Eksplorasi atau identifikasi kebutuhan untuk perubahan, persepsi baru, mengembangkan pemahaman.
  3. Mengembangkan tujuan yang meliputi mengembangkan alternatif, rencana dan partisipasi aktif dari korban.
  4. Intervensi meliputi monitoring, evaluasi perkembangan, mensuport perilaku untuk bisa menolong diri sendiri, memikirkan alternatif solusi pada situasi sulit.
  5. Penyelesaian dan evaluasi (evaluasi atas intervensi, membuat rencana masa depan, kemandirian/ penyapihan).

 Pada dasarnya pendampingan psikososial bagi perempuan korban kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan kekerasan terhadap perempuan. Pendampingan tidak saja dilakukan oleh seorang psikolog tetapi juga dilakukan oleh setiap orang yang berlatar belakang disiplin ilmu lain. Namun demikian, pendamping paling tidak mempunyai kemampuan dalam hal konseling, antara lain:

  • Paham terhadap stereotip, nilai-nilai bias gender yang merendahkan perempuan.
  • Korban dipahami sebagai kelompok yang marjinal, tertekan, terdiskriminasi.
  • Konselor berpihak pada perempuan/pihak yang lemah.
  • Konselor dapat share pada saat yang tepat dan porsi yang tepat.
  • Korban ditempatkan sebagai pihak yang paling tahu dan paling ahli.
  • Mendukung korban untuk menjadi dirinya sendiri.
  • Terlibat dalam kegiatan komunitas untuk memberdayakan perempuan.
  • Memiliki rasa penerimaan, persahabatan dan penuh kepercayaan pada korban.

 Pendampingan psikososial bisa dilakukan dalam bentuk:

  1. Konseling tatap muka di ruang konseling.
  2. Hotline telpon.
  3. Home visit/kunjungan rumah.
  4. Shelter.

 Pendampingan dan Tindakan Preventif

Pendampingan psikososial yang efektif diharapkan dapat mewujudkan kemandirian dan pemberdayaan pada perempuan korban kekerasan. Artinya, korban dianggap mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, dan mampu membangun potensinya. Korban yang sudah “selesai” ini disebut dengan survivor. Survivor dalam hal ini merupakan pihak yang sangat efektif dalam melakukan upaya preventif atau pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Melalui survivor ini diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran dan penyadaran komunitas di sekitarnya, sekaligus melakukan fungsi perlindungan sosial bagi perempuan korban kekerasan. Jika dikaitkan dengan tindakan kuratif yaitu pendampingan pada korban, maka pendampingan pada korban akan sangat relevan dengan upaya-upaya preventif dalam rangka mencegah dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, dan kita semua bisa melakukannya.

 (Anna Mukarnawati – tulisan ini pernah disampaikan dalam Sarasehan dalam Rangka Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Pemkot Surabaya di Hotel Santika tanggal 29 Desember 2003).