25 November – Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

Hari ini genap 10 tahun, dunia  menjadikan tanggal 25 November sebagai hari peringatan penguatan komitmen untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.

UNIFEM mencatat kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai problem pandemik. Data dari berbagai Negara yang terkumpul menunjukkan 70% perempuan mengalam kekerasan fisik, atau seksual dari laki-laki yang umumnya orang terdekat (suami, pasangan) atau yang ia kenal. Diantara perempuan usia 15 – 44 tahun, tindak kekerasan merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang lebih besar dari total korban karena kanker, malaria, kecelakaan di jalan mau pun perang.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukkan Kekerasan Terhadap Perempuan dari tahun ke tahun makin meningkat, terutama setelah tahun 2004 ketika UU Penghapusan KDRT disahkan. Sesudah pengesahan, antara 2005 – 2007, jumlah kasus melonjak 5 kali lipat dibandingkan dalam rentang 2001-2004 (53.704 kasus – 9.662 kasus), 2008 – 2009 meningkat 200%. Sedangkan pada tahun 2010, jumlah menunjukkan penurunan (105.103 kasus).

Komnas Perempuan menengarai ada beberapa faktor penyebab berkaitan dengan fenomena tersebut. Antara lain, keterbatasan SDM (dalam hal ketrampilan pendataan dan pergantian – turnover yang cepat), keterbatasan fasilitas yang menunjang pendokumentasian, keterbatasan pemahaman mengisi format pendataan, pendanaan yang mendukung pendokumentasian kasus, dan keengganan korban dicatat kasusnya (karena kekhawatiran dan ketakutan akan adanya stigma atau tanggapan negatif dari masyarakat)  (Catahu 2010).

Dari jenis kasusnya, kasus Kekerasan Terhadap Istri dari waktu ke waktu merupakan jumlah terbesar – bergerak disekitar 95% – 96% dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara kasus kekerasan yang dialami anak perempuan sekitar separuh dari kekerasan dalam masa pacaran.

Catatan ini tidak dapat dianggap sebagai menggambarkan kondisi sebenarnya. Sekalipun peningkatan pelaporan dapat menunjukkan meningkatnya jumlah orang yang menyadari bahwa kekerasan ini adalah sebuah tindak pidana yang tidak dapat didiamkan/ditutupi, namun masih banyak kasus yang tenggelam tidak terdengar bahkan tidak diakui.

Kita belum tahu bagaimana gambarannya pada perempuan/anak perempuan diffable, bagaimana gambaran perempuan buruh, kekerasan yang dialami pekerja seks, kekerasan yang dialami perempuan lesbian, biseksual dan transgender. Deretan kategori kelompok perempuan yang terpinggirkan ini dapat terus diperpanjang.

Mencatat jumlah kasus adalah penting, tetapi sangat penting untuk juga mengetahui tantangan yang dihadapi para korban – atau lebih tepatnya penyintas (survivor) – dalam mengupayakan keadilan bagi diri dan anaknya. Kecenderungan yang menguat beberapa waktu terakhir: kriminalisasi korban – korban diadukan balik sebagai pelaku KDRT oleh pelaku/ keluarga pelaku karena dibuktikan melukai pelaku – yang sebenarnya terjadi karena korban melawan/melindungi diri/anak agar dapat lepas dari pelaku. Masih adanya celah dalam sistem hukum yang membuat di setiap tingkat upaya mencari keadilan dan perlindungan ia harus berhadapan dengan APH yang menyuruhnya ”berdamai” dengan pelaku – dipojokkan dalam perannya sebagai Ibu yang tidak sepantasnya ”egois” tidak memikirkan efeknya pada anak bila melanjutkan perkara – memidanakan suami. Masih banyak ditemukan jaksa yang dalam tindak-tanduknya tidak menunjukkan keberpihakan pada korban yang telah dilanggar harkat dirinya. Pun putusan perkara yang mau tak mau membuat orang berpikir ”ada permainan apa di balik proses persidangan”.

Tidak jarang kami langsung dengar dari mulut teman-teman perempuan yang adalah korban/penyintas mengeluhkan ”ndak heran bu, kalau banyak perempuan yang jadi enggan melapor, kalo prosesnya sebegini sulit, melelahkan dan menghabiskan dana padahal untuk hidup saja sudah sulit. Saya yang sudah jadi bulan-bulanan suami, anak-anak yang sudah ngeliat dan mulai nyontoh perilaku bapaknya, masih disalah-salahkan petugas. Yang dibilang ’nggak mikir anak2 bu, ndak kasihan sama suaminya, bu.” ”bu saya apa bisa dapatkan keadilan ya, bapaknya anak-anak kan punya uang…”

Tantangan kian kuat dengan makin bermunculannya kebijakan/perda diskriminatif yang memanfaatkan sentimen agama/keyakinan/etnisitas membatasi gerak maupun hak bersuara perempuan (klik http://www.komnasperempuan.or.id/category/publikasi/catatan-tahunan/) yang akan kian bisa menjadi pembenar dan pembiaran dan bahkan penyalahan bagi perempuan/anak perempuan korban atas kekerasan yang terjadi padanya.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa upaya yang selama ini dilakukan untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan anak perempuan korban KDRT/relasi personal telah menunjukkan sejumlah hasil – baik dalam bentuk kesepakatan bersama antar sektor, munculnya lembaga pelayanan di tingkat masyarakat, maupun di Rumah Sakit untuk penanganan korban. Juga upaya Pemerintah Kota Surabaya misalnya untuk memberikan penguatan langsung bagi para penyintas – walaupun belum dapat menyentuh seluruhnya. Munculnya Pos Curhat yang dilakukan para ibu PKK untuk menjadi tempat dimana perempuan dapat menceritakan apa yang ia alami.

Namun tantangan-tantangan di atas tetap ada di depan kita. Kita, masing-masing, sebenarnya punya pilihan untuk peduli dan bertindak atau tidak peduli apalagi bertindak untuk menekan beragam bentuk kekerasan dengan berlindung pada keyakinan lama ”ini urusan keluarga-urusan privat” dengan beragam alasan pembenar.

Apapun pilihan kita, dari penelitian yang dilakukan oleh Hakimi dkk (2001) yang menyatakan 1 dari 4 perempuan mengalami kekerasan di masa hidupnya dari orang terdekat, maka mungkin ada perempuan-perempuan di RT kita yang masih mengalami kekerasan ini, bertahan pada relasi semacam ini. Mereka mungkin ”memilih” bertahan karena tidak cukup yakin ada pilihan lain yang lebih baik bagi diri dan anaknya. Efek pada tubuh dan mentalnya, yang mengganggu optimalisasi kemampuannya untuk berkembang, berkarya adalah bayarannya.

Melihat drama yang menyakitkan sebagai peristiwa sehari-hari membuat anak-anak pun belajar dari hari ke hari, bahwa kekerasan adalah hal yang lumrah untuk menjadi cara mendapatkan apa yang diinginkan, menekan dan patuh adalah modus yang dikenal sebagai modus alamiah untuk mempertahankan diri. Tidak sedikit diantara mereka yang berkembang menjadi anak yang bermasalah secara sosial, terganggu perkembangannya.

Pengalaman sehari-harinya di rumah, merupakan proses belajar yang intens yang membentuk pola relasi mereka di masa remaja dan dewasa, yang berkemungkinan besar terulang lagi ketika mereka memutuskan untuk berkeluarga maupun dalam membangun relasi sosial di luar rumah. Si anak lelaki berkemungkinan besar menjadi pelaku atau pun menjadi korban karena ia telah bersumpah tak akan berlaku hal yang dianggap akan menyakiti perempuan istrinya karena melihat kesakitan yang dialami ibunya. Si anak perempuan berkemungkinan besar menjadi korban tetapi juga mungkin menjadi pelaku karena bersumpah tak akan mau mengalami seperti yang dialami ibunya dan menjadi cenderung segera menyerang pada apapun yang ia lihat sebagai berkemungkinan menekan/membatasinya.

Kita sering tidak menyadari bahwa KDRT yang masih sering dianggap persoalan keluarga-privat dan ”semestinya tak dibicarakan”, senyatanya berkekuatan besar merusak masyarakat dan sendi-sendi pembangunan generasi muda bangsa.

Membiarkan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Relasi Personal-KDRT sama dengan membiarkan kerusakan keluarga, masyarakat, dan bangsa